Disarankan kuat untuk menonton serinya sebelum membaca ulasan ini.

Squid Game adalah drama seri thriller produksi Korea Selatan rilisan Netflix. Squid Game berjumlah sembilan episode yang berdurasi rata-rata 50 menitan. Film yang diarahkan dan ditulis naskahnya oleh Hwang Dong-hyuk, dibintangi Lee Jung-jae, Park Hae-soo, Wi Ha-jun, Jong Ho-yeon, serta Lee Byung-hun. Seri film ini tercatat menjadi trending di seluruh dunia dengan catatan rekor pemirsa dengan lebih dari 110 juta penonton. Apakah seri ini seheboh yang dibayangkan?

Kisahnya adalah seputar sekelompok orang yang bermain dalam satu “permainan hidup atau mati” yang diikuti oleh ratusan peserta. Para peserta seluruhnya adalah orang-orang yang memiliki masalah ekonomi serius, termasuk protagonis kita, Gi-hun (Hae-soo), seorang mantan pekerja pabrik yang suka berjudi hingga terlilit hutang jutaan won. Gi-hun yang penuh harap dengan hadiah besar dari permainan ini, tanpa ia duga, terjebak dalam satu permainan “anak-anak”, di mana peserta yang tereliminasi ternyata harus tewas. Gi-hun dan beberapa rekannya, mencoba bertahan hidup, tidak hanya dari permainan brutal tersebut, namun juga dari kontestan lain

Wow. Belum pernah sebuah film atau serial bertema “permainan hidup mati” demikian menarik dikisahkan. Konsep cerita kontes sejenis, bisa jadi bukan hal baru, sebut saja The Running Man, Death Race, The Hunger Game, The Hunt, atau baru lalu Escape Room, namun Squid Game memiliki beberapa kejutan tak terduga dari banyak aspeknya. Dengan kisahnya yang kompleks, mustahil film ini dikisahkan pendek melalui satu film berdurasi dua jam. Squid Game boleh jadi adalah salah satu film “mainstream” paling brutal dalam dua dekade terakhir, namun di balik itu semua, seri ini menyimpan sebuah pesan humanisme yang kuat.

Film ini tidak melulu tentang aksi menegangkan dan bertahan hidup, namun juga memiliki latar penokohan yang kuat untuk membangun sosok tokoh-tokoh utamanya. Kita bisa tahu betapa sulitnya situasi mereka, dan mengapa mereka harus ikut permainan tersebut untuk sekadar mengejar hadiah. Dari sini saja, jika kamu jeli sudah mudah terlihat, siapa sebenarnya yang berhasil bertahan hingga akhir. Tapi ini pun tidak sederhana yang kita lihat. Dalam perkembangan kisah, sejalan permainan berlangsung, tokoh-tokoh baru pun muncul, dan sering kali mampu mencuri perhatian serta simpati kita, sebut saja si kakek, Ali si imigran asal Pakistan, si bos preman, si perempuan binal yang banyak omong, hingga si doktor licik. Walau profesi dan latar berbeda, namun mereka adalah satu kelompok utuh, di mana mereka mewakili kelas atau status sosial masyarakat bawah. Ini yang kelak secara mengejutkan membawa kedalaman pesannya.

Perpektif penceritaan yang berbeda, juga adalah satu hal yang membuat film ini memiliki sisi ketegangan yang unik. Melalui sosok sang polisi, Jun-ho, penonton tidak hanya dibatasi cerita melalui perpektif peserta permainan, namun apa yang di balik itu semua. Jun-ho yang menyamar menjadi satu dari penjaga, menambah sisi misteri serta rasa penasaran kita tentang siapa dalang dan apa motif dari permainan ini sebenarnya? Melalui penceritaan Jun-ho penonton di bawa ke arah plot yang sama sekali tak terduga, yang hebatnya ini tidak mengurangi intensitas ketegangan di plot permainan yang menjadi sajian utamanya. Kejutan demi kejutan adalah satu hal akan kita dapatkan sepanjang kisahnya.

Baca Juga  Mortal Engines

Satu hal yang pasti menjadi daya tarik banyak orang yang menonton film ini adalah sekuen permainannya. Setiap permainan memiliki karakternya masing-masing serta sisi ketegangan yang berbeda. Tiap penonton bisa jadi memiliki permainan favoritnya. Tidak dipungkiri, permainan jembatan kaca adalah yang paling menegangkan. Tidak hanya soal probabilitas atau kaca mana yang harus diinjak, namun konflik di tengahnya yang membuat tensi ketegangan berjalan menarik. Kita tahu persis, jika kita bakal kehilangan tokoh-tokoh penting di sini, dan prosesnya yang membuat ini menjadi menarik. Bagi saya sendiri, permainan yang paling berkesan adalah kelereng. Mungkin ini paling tidak menarik di mata banyak orang. Memang permainannya sepele sekali, namun di sinilah nurani dan kejujuran mereka di uji. Gi-hun diberi pelajaran terbesar di sini, sebelum kelak bermain dalam permainan puncak yang amat emosional.

Secara estetik pun, Squid Game memiliki beberapa aspek yang istimewa. Pertama jelas adalah setting megah ruang permainan yang amat mencengangkan, dari ruang hall utama (ruang tidur), ruang “seribu pintu” hingga satu ruang permainan demi permainan yang berbeda karakter antara satu dengan lainnya. Editing, dalam beberapa momen mampu menyajikan perpaduan ritmik editing dan match cut yang memikat, satu contohnya ketika masing-masing karakter menunggu dan masuk ke dalam mobil jemputan. Sayangnya, ini tidak konsisten digunakan dalam tiap serinya. Satu aspek yang konsisten adalah score, yakni penggunaan lagu dan musik klasik populer, salah satunya jelas adalah The Blue Danube gubahan Johnn Strauss Jr., yang dalam banyak momennya mampu menyajikan momen kontras, antara sisi artistik dan sadisme. Kadang pula teknik slow-motion disisipkan dalam momen ini sehingga terlihat lebih elegan. Di luar itu semua, satu pencapaian istimewa tentu adalah para kastingnya yang brilian. Film Korea Selatan seperti tidak pernah miss dalam sisi kasting. Semua tokohnya memiliki karakter dan karisma yang unik, walau kadang beberapa sosok tampil over akting, seperti film Korea kebanyakan.

Squid Game adalah perpaduan naskah brilian, sisi hiburan dan estetik dengan kedalaman cerita, sekalipun sisi sadisnya membuat tidak semua penonton bakal menikmatinya. Bisa jadi tidak semua penonton setuju, jika film ini memiliki kekuatan tersembunyi dalam konsep kisahnya. Ya benar, film ini bisa jadi tidak bermoral dari satu sisi dengan menampilkan aksi-aksi yang sangat tidak manusiawi. Namun, jika kita melihat melalui perspektif sosok Gi-hun, segalanya bisa berbeda. Film ini tidak semata menyajikan sisi gelap manusia; hukum rimba di mana yang besar memakan yang kecil; di mana insting binatang manusia bisa keluar jika mereka terpojok; atau segala hal yang membuat manusia menjadi bukan manusia. Melalui sosok Gi-hun, kita bisa melihat dunia apa adanya, bahwa ternyata tidak semua manusia beruntung, di mana segala sesuatu dalam hidup belum tentu sepenuhnya bisa ia kontrol layaknya sebuah permainan anak-anak, namun itu tidak lantas membuat ia kehilangan nuraninya. Hidup adalah sebuah pilihan, salah dan benar tidak ada kaitannya dengan nasib atau luck. Squid Game adalah satu proses panjang baginya untuk bisa memahami bahwa di atas segalanya, ada sesuatu yang lebih berharga dari uang triliunan won. Squid Game adalah satu tontonan berkelas yang tidak bisa dilewatkan, khususnya bagi kamu penikmat film.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaHalloween Kills
Artikel BerikutnyaFFWI XI Rilis Unggulan 3 Genre
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.