Star Wars: Episode IX - The Rise of Skywalker (2019)
141 min|Action, Adventure, Fantasy|20 Dec 2019
6.4Rating: 6.4 / 10 from 508,073 usersMetascore: 53
The surviving Resistance faces the First Order once again in the conclusion of the Skywalker saga.

Setelah sekian lama dinanti, saga penutup seri ikonik Star Wars akhirnya rilis melalui Star Wars: The Rise of Skywalker. J.J. Abrams kini kembali mengarahkan filmnya setelah menggarap episode ke-7 yang sukses komersial luar biasa meraih lebih dari US$ 2 miliar. Para pemain seri sebelumnya, kembali tampil di sini, yakni Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac, serta para bintang seri orisinalnya, Carrie Fisher, Mark Hamill, Billie Dee Williams, Anthony Daniels, hingga Ian McDiarmid. Lantas bagaimana saga klasik ini ditutup?

Kekuatan gelap muncul kembali ketika sang kaisar, Palpatine dan pengikutnya berniat untuk kembali menguasai semesta. Dengan iming-iming kuasa gelap, Kylo Ren pun menjadi tangan kanannya. Kelompok pemberontak mendapatkan bocoran ini dari mata-mata. Rey, Finn, Chewie, Poe bersama C-3PO berusaha mencari lokasi sang kaisar dengan petunjuk kecil dari tulisan milik Luke.

Sebagai fans berat seri orisinalnya, saya sangat berharap sebuah kisah yang segar dan banyak mendapatkan kejutan melalui seri penutup ini. Ternyata saya salah besar. Sejak awal pun, tak terlalu sulit untuk mengantisipasi akhir kisahnya. What the heck. Ini Star Wars bung, buat apa dibuat trilogi final jika hanya berakhir seperti ini. Ini semata hanya pengulangan lagi. Jika mau, trilogi berikutnya juga bisa dibuat lagi dengan konsep yang sama.

Sejak muncul berita, bagaimana J.J. Abrams serta John Boyega “kecewa” dengan kisah seri ke-8 (digarap oleh Rian Johnson), saya malah bingung. Oleh karena Abrams pun pada seri ke-7, sebenarnya hanya melakukan pengulangan cerita Episode 4 & 5 tanpa formula cerita yang segar. Sementara Johnson justru sudah mencoba sesuatu yang baru dan hasilnya pun sangat baik. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagi saya adalah, apakah sejak awal semua kisah tiga seri final ini sudah terkonsep secara matang? Melihat ini tentu jawabnya tidak.

Baca Juga  Monkey Man

Pemaksaan konsep cerita serta tambal sulam plot terlihat jelas dalam film penutup ini. Saya tak yakin betul, jika Palpatine ada dalam konsep awal trilogi final ini. He is done. Buat apa karakter ini muncul kembali, saya sungguh tak habis pikir. Tak masuk akal. Bagaimana selama itu, dia mampu membangun armada sedemikian (maha) besar tanpa ada satu pihak pun yang mengetahui? Lalu, jika ingin menguasai alam semesta lakukan saja, hancurkan saja semua planet yang ada, untuk apa harus menunggu Rey?

Bicara soal logika, film ini tak ada habisnya untuk dibahas. Saya sampai geleng-geleng kepala karena saking konyolnya. Dalam satu momen misalnya, Chewie ditangkap oleh sepasukan musuh, dan mereka pun tahu, semuanya (Rey, Finn, Poe) ada di dekat sana, mengapa mereka tidak menangkap semuanya saja? Yang lebih konyolnya lagi, setelahnya, mereka berusaha menyelamatkan Chewie dengan menyambangi pesawat raksasa destroyer utama yang isinya tentu ribuan pasukan musuh. Mereka pun masuk dengan membabi buta dan langsung menyerang! Hei, alarm-nya mana?? Apa ini tidak gila? Kekonyolan macam ini tidak hanya sekali dua kali. Tiap plotnya seakan memiliki satu tujuan, namun itu dimentahkan kembali oleh plot berikutnya. Lelahnya bukan main saat menonton dan saya merasa dibodohi.

Konyol, memaksa, serta tak berjiwa, Star Wars: The Rise of Skywalker menutup seri saga ikonik ini dengan cara yang absurd. The force is dead on this one. Bagi saya, pencapaian visual yang sedemikian hebat, tak berarti apa-apa jika tidak dimbangi kisah yang setidaknya masuk akal. Abrams ingin menyelamatkan seri ini, namun ia justru menghancurkan seri ini lebih buruk dari sebelumnya. Apa yang dilakukan Rian Johnson sebenarnya sudah sangat baik dengan memasukkan kualitas mistis serta kearifan seri Star Wars orisinalnya. Abrams justru menghilangkan ini semua dengan semata hanya fokus pada aksi-aksi visual hebat. Saya justru menikmati seri The Mandalorian dengan kisah yang lebih membumi dan sederhana.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaJeritan Malam
Artikel BerikutnyaHabibie & Ainun 3
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.