Merangkum berbagai prestasi seorang atlet wanita legenda bulu tangkis Indonesia, Susi Susanti, di tengah kecamuk dari krisis dan diskriminasi etnis, adalah sebagian kecil dari pesan yang ingin disampaikan oleh film arahan Sim F., Susi Susanti: Love All. Dibantu kelima penulisnya, yakni Syarika Bralini, Raymond Lee, Raditya, Daud Sumolang, serta Sinar Ayu Massie (penulis naskah 6,9 Detik), tak tanggung-tanggung, film bergenre biografi sejarah olahraga ini diproduksi oleh kerja sama antara tujuh rumah produksi sekaligus, yakni Buddy Buddy Pictures, Damn! I Love Indonesia Movies, East West Synergy, Melon Indonesia, Oreima Films, PT Nara Prayatna Tama, serta Time International Films. Susi Susanti: Love All menggandeng sejumlah bintang, seperti Laura Basuki, Dion Wiyoko, Lukman Sardi, Farhan, Moira Tabina Zayn, Iszur Muchtar, serta nama baru dengan peran besar, Jenny Zhang. Dengan durasi “sedikit” lebih panjang daripada 6,9 Detik, namun dari cabang dan era yang berbeda, akankah Susi Susanti: Love All memiliki daya tawar lain?
Sebuah kisah peletakan nama sebagai peraih medali emas pertama bagi Indonesia dalam olimpiade cabang olahraga bulu tangkis. Pebulutangkis Susi Susanti menunjukkan pada lawan-lawannya dan dunia, makna penting di balik “Love all” bagi dirinya terhadap negaranya. Kendati didera rasa kecewa atas ketidakjelasan status kewarganegaraannya dan beberapa rekan atlet serta pelatih keturunan Tionghoa, Susi meneguhkan hati dengan tetap membela tanah air dengan caranya sendiri sebagai seorang atlet. Bersama bimbingan dari sang pelatih, Liang Chiu Sia (Jenny Zhang) dan dukungan dari suami sekaligus rekan satu tim, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), serta janjinya pada sang ayah (Iszur Muchtar), ia meraih banyak penghargaan, medali, dan piala, di tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan diskriminasi etnis yang berkecamuk di Indonesia.
Sama seperti 6,9 Detik, Susi Susanti: Love All berkisah tentang perjuangan seorang atlet walau durasinya lebih panjang. Kompleksitas persoalan yang dihadapi Susi di sepanjang karirnya sebagai pebulutangkis, menyebabkan film ini harus membagi tuturan kisahnya menjadi beberapa segmen. Dari segmen perjuangan meraih medali emas pertamanya, isu asmara, ketidakjelasan status kewarganegaraan, hingga krisis ekonomi dan kerusuhan yang tak lain merupakan akibat dari adanya diskriminasi etnis keturunan Tionghoa.
Penonton dapat dengan ringkas dan mudah mengetahui fakta-fakta lain yang tidak terjelaskan dengan baik dalam catatan sejarah selama ini. Penonton dapat mengetahui pula, tantangan sejumlah atlet pada masa ‘tersebut’, bukan sekadar berjuang untuk menang, tetapi persoalan kewarganegaraan yang belum terjamin. Namun tindakan ‘perangkuman’ semacam ini juga mudah menjauhkan kedekatan emosi penonton dengan sosok-sosok yang terlibat di dalamnya, terutama sosok Susi Susanti yang diperankan oleh Laura Basuki. Dukungan personal yang kurang memikat, serta beberapa momen yang datang dan pergi secara tiba-tiba, membuat emosi dan empati yang tercipta terhadap sosok sang atlet menjadi berjarak.
Kedekatan emosi dan dramatisasi tiap segmen tercipta semata-mata melalui hal-hal yang berasal dari karakter sekitar tokoh utama, alih-alih dari dalam diri sang tokoh sendiri. Momen-momen dalam film ini berlalu terlalu cepat sehingga tidak memporsikan banyak waktu bagi Laura untuk mengeksplorasi perenungan sosok yang ia perankan. Pun demikian halnya dengan tokoh-tokoh penting lainnya yang memberi banyak pengaruh dan pesan-pesan motivatif kepada Susi, seperti Alan, Ayah Susi, Rudy, MF Siregar, Try Sutrisno, hingga para pelatihnya. Bahkan sosok sang suami (Alan Budikusuma) tidak mendapat porsi yang cukup sepadan dengan sang istri. Ia justru tampak seperti orang asing biasa saja, dengan peran yang tak sesignifikan ayah Susi.
Jika menilik kembali 6,9 Detik, Susi Susanti: Love All akan terasa memiliki sejumlah kesamaan dari segi tensi, semangat yang diciptakan, pesan yang ingin disampaikan, serta melibatkan masa anak-anak sebagai bagian dari proses yang ditempuh oleh tokoh utamanya. Kendati dalam Susi Susanti: Love All, terbilang jauh lebih singkat, keputusan pemampatan masa anak-anak ini dilakukan pun sebagai konsekuensi dari adanya beberapa segmen dan konflik lainnya.
Menonton Susi Susanti: Love All terasa seperti sedang menonton rangkuman dari beberapa rally pertandingan bulu tangkis yang cepat, singkat, tanpa kedekatan emosional. Walau dukungan dari segi teknis gambar telah bervariasi, namun kualitas akting dan porsi momen (di balik lapangan) yang kurang maksimal, berakhir dengan segi personal dan emosional yang lemah. Susi Susanti: Love All adalah film biografi yang mustinya berfokus pada sosok tunggal sang atlet sendiri. Bukan berarti sosok lain tidak penting, namun fokus perhatian penonton harus jelas mengarah pada kekuatan dari sosok yang ingin diceritakan.