Ketika trauma dari masa lalu memicu seseorang terobsesi dengan detak jantung manusia, apa saja sangat mungkin dilakukannya. Memang terdengar tidak berkaitan dengan judul Tarian Lengger Maut, tetapi begitulah adanya film arahan Yongki Ongestu dengan skenario yang ditulis oleh Natalia Oetama. Bahkan sang sutradara sendirilah yang menjadi pengarah sinematografinya. Film thriller produksi Visinema Pictures dan Aenigma Picture ini diperankan oleh Della Dartyan –yang memulai debutnya melalui Love for Sale, Refal Hady, Alyssa Abidin, Bintang Satria, dan Hetty Reksoprodjo. Jadi, Visinema dan babak baru berupa film thriller?

Desa Pagar Alas yang kondang dengan kesenian daerah berupa Tari Lengger, kedatangan dokter bermuka tampan yang bernama dr. Jati (Refal Hady). Sikap misteriusnya dicurigai oleh beberapa orang, termasuk Mbok Girah (Hetty Reksoprodjo), pelatih Tari Lengger yang mempersiapkan Sukma (Della Dartyan) menjadi penari Lengger terbaik di Pagar Alas. Hari-hari di Pagar Alas berubah mencekam sejak satu persatu warga desa tiba-tiba hilang. Ritual besar Tarian Lengger lantas diselenggarakan sebagai penolak bala, dengan Sukma yang menjadi penari utama sekaligus pusat perhatiannya. Namun, dirinya pula yang kemudian menguak fakta mengerikan di balik bala yang menimpa desanya.

Kesan pertama saat membaca judul film Tarian Lengger Maut diproduksi oleh Visinema adalah dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran. Sebab sudah jadi pengetahuan umum, bahwa perusahaan ini lebih dikenal kerap mengangkat tema-tema seputar cinta yang tidak biasa atau drama keluarga. Namun ketika Visinema menggawangi sebuah judul film yang sudah pasti kental dengan kesan horor, mistis, budaya lokal, dan thriller, fans company ini mengharapkan pencapaian yang sama seperti kualitas produk-produk lainnya, misalnya Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Love for Sale, atau Terlalu Tampan.

Beragam hal yang sangat erat saling berkaitan antara tema tarian daerah, budaya lokal, unsur mistis, dan horor pun tampak dihindari oleh film ini. Tarian Lengger Maut lantas memutuskan untuk mengganti format yang barangkali mereka anggap telah umum tersebut, dengan penjelan yang lebih realistis. Terkesan bagus, kalau toh dapat menunjukkan hasil yang memuaskan. Tetapi nyatanya tidak.

Para penonton yang menyaksikan Tarian Lengger Maut pun bereaksi dalam satu frekuensi saat filmnya selesai, yakni sama-sama kecewa. Memang tidak bisa dipungkiri, sebab hingga lebih dari separuh film ini sangat mudah membuat penontonnya mengantuk. Niat hati ingin menghindarkan persoalan “maut”, dari sisi mistis sebuah tarian yang didasarkan pada budaya lokal suatu daerah, film ini malah menciptakan ‘kekacauan’ baru. Sangat wajar dikatakan demikian, sebab sekat untuk menunjukkan perbedaan antara yang mana protagonis dan antagonisnya pun kabur.

Baca Juga  Garis Waktu

Setelah menelurkan Keluarga Cemara, Bridezilla, hingga Love for Sale, tercatat sudah dua kali Visinema mendapat nilai merah dalam rapornya. Pertama adalah Generasi 90-an: Melankolia, kedua ialah film ini. Lucunya, baik yang pertama maupun Tarian Lengger Maut, keduanya memiliki kecacatan yang sahih disimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara judul dan ceritanya. Ada apa dengan Visinema yang sekarang? Sedang berusaha gambling dengan gaya-gaya lain? Mencoba peruntungan dengan tema-tema di luar zona aman-nyaman selama ini?

Bila mesti menaruh respect, rasanya hanya ada beberapa hal yang bisa mendapatkannya. Baik dalam aspek sinematik maupun naratif. Misalnya upaya dari segi naratif, dengan cara-cara pembelokan dugaan alur ceritanya yang sebisa mungkin membuat penonton selalu salah menebak adegan selanjutnya. Ada sejumlah kecil adegan yang menggunakan pembelokan ini untuk memberi efek kaget kepada penonton. Ya, silakan saja. Walau tidak benar-benar menutup luka yang secara terang-terangan menganga dari keseluruhan film.

Ada pula pemanfaatan graphic match yang valid untuk dianggap sangat sering dilakukan. Hampir setiap sekian menit pasti ada, baik satu maupun dua kali. Memang ada teknis-teknis lain yang juga digunakan, seperti salah satunya adalah Long Take. Tetapi untuk yang satu ini rasanya sudah jadi terlalu umum untuk terus-menerus dibahas saat dipakai dalam sebuah film, setidaknya bila pemakaiannya biasa-biasa saja. Ya. Hanya sebatas inilah upaya sineas film ini dalam menampilkan perbedaan dari sebuah Tarian Lengger Maut.

Tak banyak yang cukup bagus dikomentari dari film ini. Bahkan masih tak bisa dipercaya, film semacam Tarian Lengger Maut ini diproduksi oleh Visinema. Apa yang sebenarnya ingin dicapainya melalui film ini? Film thriller yang seolah horor-mistis, tetapi nyatanya bukan sama sekali. Dalam kasus Tarian Lengger Maut, tanpa kehadiran Tari Lengger pun maut tetap bisa dibawakan oleh tokoh dokternya; tanpa pertemuan sang dokter dengan seorang penari Lengger, dia toh tetap mendatangkan kematian bagi siapa saja lewat obsesinya terhadap jantung manusia.

Tarian Lengger Maut, rasanya seperti bukan project serius Visinema saat melihat track record Aenigma Picture serta filmografi sutradara dan penulisnya. Entah Aenigma Picture merupakan company baru atau bagaimana, serta Yongki Ongestu dan Natalia Oetama datang dengan bekal perfilman seperti apa, tetapi Tarian Lengger Maut bersama ketiga nama ini terasa seperti berada di dunia yang berbeda dibanding sederet film populer Visinema selama ini. Memang benar masih berada di bawah pengawasan Angga Dwimas Sasongko sebagai salah seorang supervisi, sebagaimana film-film yang diproduksi Visinema lainnya. Namun, ternyata tidak menjamin juga hasil akhirnya akan berada pada level yang sama.

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSpiral
Artikel BerikutnyaThose Who Wish Me Dead
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.