The Captain (2019) adalah film bencana yang diambil dari kisah nyata yang menimpa salah satu pesawat Sichuan Airline, penerbangan 8633, pada bulan Mei,  2018. Film ini diarahkan oleh sineas kawakan Andrew Lau yang menggarap seri populer dan sukses Young and Dangerous serta Infernal Affairs. The Captain sukses besar di Tiongkok dengan raihan angka lebih dari USD 400 juta. Produksi filmnya pun dikebut hanya selang setengah tahun setelah peristiwa aslinya, lalu bagaimana hasilnya?

Pada tanggal 14 Mei 2018, satu penerbangan maskapai Sichuan Airlane, bertujuan dari Chongqing, China ke Lasha, Tibet. Tak ada seorang pun yang mengira bahwa penerbangan ini bakal mengalami peristiwa luar biasa, tak terkecuali Kapten Lui, pilot senior yang sudah ratusan kali terbang ke destinasi yang sama. Pesawat pun tinggal landas dan perjalanan pun seolah bakal normal hingga pada satu momen terbulensi kuat memaksa pesawat harus menaikkan ketinggian. Tak ada yang menduga, tiba-tiba kaca depan sebelah kanan pesawat retak. Kecakapan sang kapten pun diuji sejak momen ini.

Saya tak menyangka sama sekali film bencana ini bisa disajikan begitu baik, seolah film bencana pesawat produksi Hollywood, Sully serasa bagai adik kecilnya. Kita tahu persis, bahwa film-film Tiongkok, terutama fiksi ilmiah dan fantasi, amat tergantung dari efek visual, yang semakin lama pencapaiannya semakin meyakinkan. The Captain lebih jauh tidak hanya menunjukkan kematangan pencapaian efek visual mereka, namun juga kemampuan mereka mengolah adegannya. Film ini sudah nyaris tak ada bedanya dengan film-film barat mapan. Luar biasa.

Sejak awal, kita disuguhi secara bergantian rutinitas sang pilot, serta kru awal lainnya, hingga penumpang. Protokol dan prosedur kru pilot dan awak kabin sebelum dan sesudah pesawat tinggal landas, disajikan sangat mengesankan, seolah kita sungguhan ikut terbang bersama mereka. Saya belum pernah melihat hingga sedetil ini. Lalu, peristiwa nahas pun terjadi. Komunikasi pesawat dan menara kontrol berjalan sepihak karena kru pilot hanya fokus pada masalah di pesawat. Penonton banyak mendapat informasi justru dari ruang/menara kontrol, yang berpindah dari satu bandara ke bandara lainnya. Ketegangan pun makin menjadi yang secara efektif memotong gambar bergantian, antara kabin pilot, kabin penumpang, dan menara kontrol. Emosi penonton sungguh dipermainkan di sini. Adrenalin kita terpacu dan ikut merasa tak nyaman. Menonton di bioskop adalah tempat yang ideal untuk tontonan macam ini.

Baca Juga  Brother of the Year

The Captain di luar dugaan adalah film docu-bencana produksi Tiongkok yang solid dan menegangkan, serta salah satu yang terbaik di genrenya. Boleh saya bilang, The Captain sejauh ini adalah film terbaik di Asia untuk genre bencana. Satu kelemahan kecil, yang ini pun saya maklumi, adalah unsur heroisme yang terlalu berlebihan di ujung film. Terlalu lama. Adegan bernyanyi dan makan bersama di ujung film justru disajikan sangat manis dan berkesan. Di atas semuanya, kita semua memang butuh pahlawan, khususnya di masa sulit seperti yang kita alami sekarang. Saya tak heran, jika tahun depan, Tiongkok merilis film tentang Dr. Li Wen Liang, orang pertama yang mengetahui keberadaan COVID-19, namun suaranya justru dibungkam oleh otoritas. Jika ada, saya bakal menantinya dengan antusias.

Stay Healthy and safe!

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaBlow the Man Down
Artikel BerikutnyaResistance
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.