The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)
112 min|Horror, Mystery, Thriller|04 Jun 2021
6.2Rating: 6.2 / 10 from 161,122 usersMetascore: 53
Arne Cheyenne Johnson stabs and murders his landlord, claiming to be under demonic possession while Ed and Lorraine Warren investigate the case and try to prove his innocence.

Senasib dengan banyak film yang rilis tahun lalu, seri horor The Conjuring: The Devil Made Me Do it akhirnya dirilis juga pada musim panas tahun ini. Devil Made Me Do It merupakan seri kedelapan dari semesta horor The Conjuring Universe dan seri ketiga dari The Conjuring. Film ini diarahkan oleh Michael Chaves yang juga mengarahkan seri The Conjuring, The Curse of La Llorona. Sineas dan produser kondang, James Wan dan Peter Safran masih memproduseri film ini dengan dua bintang utama regulernya, Patrick Wilson dan Vera Farmiga.

Ed dan Lorraine kini harus menghadapi iblis yang ada di tubuh seorang bocah cilik bernama David. Dalam sebuah pertarungan supernatural hebat, sang iblis ternyata masuk ke tubuh Arne, pacar Debbie yang juga kakak perempuan David. Arne yang tak punya kontrol terhadap sang iblis dipaksa untuk melakukan aksi pembunuhan sadis. Ed dan Lorraine tidak hanya harus melawan sang iblis, namun juga melawan sistem hukum yang awam dengan ranah supernatural serta harus menyajikan bukti-bukti nyata yang valid.

Jujur saja, jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya, atau bahkan seluruh serinya, Devil Made Me Do it memang memiliki pendekatan kisah yang berbeda. Pertama adalah investigasi ala detektif yang lumayan asyik diikuti. Plot filmnya layaknya film detektif yang tengah mencari pembunuh serial yang dilakoni oleh Ed dan Lorraine. Kolaborasi dengan detektif polisi juga memberikan sentuhan yang menarik pada kisahnya. Dalam film ini pula, kita mampu mengenal lebih dalam, skill supernatural Lorraine yang mampu menjelajah dimensi metafisik melalui sajian visualnya. Kedua adalah sisi biografi yang kini terasa lebih dekat walau pasti masih banyak hal didramatisir untuk memenuhi tuntutan plotnya. Sorotan pers terhadap kasus ini membuat kisahnya lebih nyata sehingga dua tokoh utama kita terlihat lebih humanis, jauh dari sosok jagoan seperti sebelumnya.

Baca Juga  Mary Poppins Returns

Satu hal lagi yang menarik dibahas adalah sang sineas. Saya terkesan dengan bagaimana sang sineas mengemas The Curse of Llorona yang mampu bermain-main dengan gimmick horor yang sederhana, namun efek ketegangannya maksimal bagi penonton. Saya masih ingat bagaimana penonton menjerit-jerit histeris ketika adegan seorang tokoh akan mengambil boneka yang melewati garis batas “iblis” atau pada segmen horor di dalam mobil yang bermain-main dengan pengancing pintu. Harapan untuk melihat trik horor macam ini ternyata hanya impian belaka. Sang sineas justru menggunakan trik horor konvensional yang sudah terlalu familiar untuk genre dan serinya. Saya pikir ketrampilan dalam berkreasi ini adalah alasan mengapa sang sineas direkrut oleh produser (Wan), ternyata saya keliru.

Dengan menggunakan pendekatan investigasi, The Conjuring: The Devil Made Me Do It memiliki sisi biografi yang kental ketimbang seri-seri sebelumnya dengan sisi horor tergolong biasa untuk seri dan genrenya. Bagi penggemar seri horor, bisa jadi kamu bakal menemukan sesuatu yang baru di sini, namun untuk fans serinya, rasanya tak banyak hal yang dieksplor, khususnya secara estetik. Bagi saya, selain pendekatan otentitas kisahnya, film ini tak banyak menawarkan apapun baik dari sisi teknis maupun hanya sekedar hiburan. Semoga seri berikutnya lebih baik.

 

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Mitchells vs. the Machines
Artikel BerikutnyaGas Kuy
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses