Senasib dengan banyak film yang rilis tahun lalu, seri horor The Conjuring: The Devil Made Me Do it akhirnya dirilis juga pada musim panas tahun ini. Devil Made Me Do It merupakan seri kedelapan dari semesta horor The Conjuring Universe dan seri ketiga dari The Conjuring. Film ini diarahkan oleh Michael Chaves yang juga mengarahkan seri The Conjuring, The Curse of La Llorona. Sineas dan produser kondang, James Wan dan Peter Safran masih memproduseri film ini dengan dua bintang utama regulernya, Patrick Wilson dan Vera Farmiga.
Ed dan Lorraine kini harus menghadapi iblis yang ada di tubuh seorang bocah cilik bernama David. Dalam sebuah pertarungan supernatural hebat, sang iblis ternyata masuk ke tubuh Arne, pacar Debbie yang juga kakak perempuan David. Arne yang tak punya kontrol terhadap sang iblis dipaksa untuk melakukan aksi pembunuhan sadis. Ed dan Lorraine tidak hanya harus melawan sang iblis, namun juga melawan sistem hukum yang awam dengan ranah supernatural serta harus menyajikan bukti-bukti nyata yang valid.
Jujur saja, jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya, atau bahkan seluruh serinya, Devil Made Me Do it memang memiliki pendekatan kisah yang berbeda. Pertama adalah investigasi ala detektif yang lumayan asyik diikuti. Plot filmnya layaknya film detektif yang tengah mencari pembunuh serial yang dilakoni oleh Ed dan Lorraine. Kolaborasi dengan detektif polisi juga memberikan sentuhan yang menarik pada kisahnya. Dalam film ini pula, kita mampu mengenal lebih dalam, skill supernatural Lorraine yang mampu menjelajah dimensi metafisik melalui sajian visualnya. Kedua adalah sisi biografi yang kini terasa lebih dekat walau pasti masih banyak hal didramatisir untuk memenuhi tuntutan plotnya. Sorotan pers terhadap kasus ini membuat kisahnya lebih nyata sehingga dua tokoh utama kita terlihat lebih humanis, jauh dari sosok jagoan seperti sebelumnya.
Satu hal lagi yang menarik dibahas adalah sang sineas. Saya terkesan dengan bagaimana sang sineas mengemas The Curse of Llorona yang mampu bermain-main dengan gimmick horor yang sederhana, namun efek ketegangannya maksimal bagi penonton. Saya masih ingat bagaimana penonton menjerit-jerit histeris ketika adegan seorang tokoh akan mengambil boneka yang melewati garis batas “iblis” atau pada segmen horor di dalam mobil yang bermain-main dengan pengancing pintu. Harapan untuk melihat trik horor macam ini ternyata hanya impian belaka. Sang sineas justru menggunakan trik horor konvensional yang sudah terlalu familiar untuk genre dan serinya. Saya pikir ketrampilan dalam berkreasi ini adalah alasan mengapa sang sineas direkrut oleh produser (Wan), ternyata saya keliru.
Dengan menggunakan pendekatan investigasi, The Conjuring: The Devil Made Me Do It memiliki sisi biografi yang kental ketimbang seri-seri sebelumnya dengan sisi horor tergolong biasa untuk seri dan genrenya. Bagi penggemar seri horor, bisa jadi kamu bakal menemukan sesuatu yang baru di sini, namun untuk fans serinya, rasanya tak banyak hal yang dieksplor, khususnya secara estetik. Bagi saya, selain pendekatan otentitas kisahnya, film ini tak banyak menawarkan apapun baik dari sisi teknis maupun hanya sekedar hiburan. Semoga seri berikutnya lebih baik.