The Contractor adalah film aksi thriller garapan sineas Swedia, Tarik Saleh. Film ini dibintangi oleh Chris Pine, Ben Foster, dan Gillian Jacob. Uniknya, film ini dirilis bersamaan di teater dan streaming melalui platform Amazon Prime. Aksi thriller macam ini sudah puluhan banyaknya dan The Contractor memiliki sedikit sentuhan berbeda.

James Harper (Pine) adalah seorang tentara yang dipecat secara terhormat karena mengalami luka permanen yang dideritanya sewaktu perang di Irak dan Afganistan. Ia masih harus menghidupi istri dan putranya, sementara tunggakan rumah pun sudah tak mampu ia bayar. Suatu ketika, Mike (Foster) rekan militernya yang kini menjadi tentara bayaran, mengajaknya dalam sebuah misi di Berlin untuk memutus satu jaringan teroris. Mike pun tak menampiknya karena bayaran yang sangat besar. Misi yang awalnya berjalan lancar berubah menjadi kacau, hingga James pun diburu polisi dan satu kelompok yang ingin membungkamnya.

Bukankah plotnya sudah tak lagi asing? Tak usah jauh-jauh, Ambulance pun nyaris memiliki motif plot yang sama. The Contractor berdiri di wilayah antara aksi thriller dan aksi spionase macam Jason Bourne. Hanya saja, kali ini sisi humanisnya terasa kuat yang terangkum melalui background sosok James. Kita yang menonton terasa tertarik ke dua sisi, aksi atau drama, dan keduanya tidak cukup kuat untuk menggiring kita untuk menikmati kisahnya. Sisi tanggung keduanya ini membawa plotnya menjadi mudah diantisipasi. Konflik batin James dengan dilema benar dan salah semakin mengerucutkan arah plotnya. Sementara sisi aksinya pun tak cukup kuat untuk mengangkat ketegangan, sekalipun para pemainnya sudah bermain maksimal (Pine dan Foster).

The Contractor membawa sedikit tipikal plotnya lebih manusiawi, namun tetap saja tidak mampu membuat filmnya membekas. Satu hal yang menjadi pertanyaan saya, apakah kisahnya benar, banyak mantan tentara AS yang menjadi tentara bayaran? Jika ya, ini tentu memiliki pesan tersendiri bagi penonton AS. Adegan aksi klimaks, adalah perang sesungguhnya yang seharusnya terjadi, yakni AS vs AS. Sungguh konyol (brilian) bukan? Jika memang arah filmnya ke sini, kisahnya bisa dibilang ideal. Namun sebagai tontonan, film ini tak cukup kuat memberikan hiburan dari sisi aksi maupun drama yang menyentuh. The Green Zone (2010) garapan Paul Greengrass adalah satu contoh bagus bagaimana tontonan aksi berkualitas bisa berpadu dengan pesan film yang kuat.

Baca Juga  The Call of the Wild

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaSonic the Hedgehog 2
Artikel BerikutnyaMoonshot
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses