The Divine Fury merupakan film horor supernatural arahan Jason Kim produksi Lotte Entertaintment. Film ini tercatat juga merupakan reuni kembali antara sang sineas dengan aktor bintang Park Seo-joon setelah sukses mereka dalam Midnight Runners. Seperti tradisi film Korea terkini, The Divine Fury, lagi-lagi menggambarkan betapa mapannya industri film Korea dengan pencapaian teknis serta dobrakan rutinitas genrenya.

Alkisah Yong-hoo kehilangan ayahnya sejak kecil yang membuat ia begitu benci terhadap Tuhan karena ia anggap tak mampu menyelamatkan sang ayah dari kematian. Amarah dan kebenciannya, ia tumpahkan sepanjang hidupnya menjadi seorang petarung bebas kelas dunia yang tak terkalahkan di kelasnya. Sejak pertarungan terakhirnya, Yong-hoo mengalami kejadian aneh di mana bagian telapak tangannya terluka hingga mengeluarkan darah. Setelah usut medik tidak mendapatkan hasil memadai, Yong-ho pergi ke seorang cenayang yang membawanya bertemu dengan seorang pendeta pengusir setan. Sejak saat inilah, Yong-ho mulai bisa memahami dirinya yang ternyata memiliki kemampuan untuk mengusir setan dari tubuh seseorang.

Aksi pengusiran setan jelas bukan hal baru dalam medium film. Sejak film klasik The Exorcist hingga seri populer The Conjuring kini. Lantas apa yang baru dalam film ini? Adalah kombinasi dua tokoh utamanya, seorang petarung bebas dengan pendeta senior. Hasilnya, adalah satu aksi pengusiran setan unik perpaduan sosok John Constantine (DC) dan pendeta senior dalam The Exorcist. Sebuah aksi pengusiran setan yang rasanya belum pernah kita lihat sebelumnya. Seperti tradisi banyak film aksi produksi Korea, film ini juga menyimpan adegan aksi hebatnya untuk momen klimaks. Sang bintang beraksi bagai Keanu Reeves dalam sosok John Wick dan Constantine sekaligus. Really cool!

Hanya sayangnya film ini terlihat amat sepi dan minim sosok kaum hawa. Dominasi adegan dalam ruangan sepanjang filmnya, membuat skala filmnya terlihat sempit. Yong-hoo adalah sosok juara dunia bela diri bebas yang punya nama besar. Masak tak ada sedikit pun saja, adegan ketika ia berlatih untuk menjaga staminanya. Tak ada kejaran pers atau fans, atau lainnya? Satu, dua momen memang sekilas disajikan, namun jelas masih kurang. Satu momen saja dalam keramaian, sudah cukup untuk memperluas lingkup kisahnya menjadi terasa lebih genting dan penting untuk segera diselesaikan. Juga, satu saja karakter perempuan sebagai tokoh pendukung, rasanya bisa membuat filmnya lebih hidup.

Baca Juga  Ombak Rindu, Sajian Melodrama ala FTV

Secara teknis, dari sisi mana pun, film ini sudah tak ada bedanya seperti saat kita menonton film produksi Hollywood. Kastingnya pun seluruhnya bermain baik, khsususnya dua tokoh utama. Hanya saja, penyajian sosok antagonis utama sedikit terasa artifisial untuk karakternya. Adegan aksi pengusiran setan sudah tak banyak beda dari seri The Conjuring walau make-up karakter (sosok iblis) tidak tampak wah. Sisi komedi yang disisipkan pun disajikan dalam momen yang tepat. Terdapat satu momen kecil yang sungguh mengejutkan dalam sejarah saya menonton film, yakni ketika Yong-hoo melempar satu benda “suci” ke dalam kloset duduk (shot close up). Ini adalah satu hal mustahil yang bisa kita lihat dalam film Hollywood.

Seperti saat jagoan kita menghajar para iblis, The Divine Fury mendobrak subgenre pengusiran setan (exorcism) dengan gaya berkelas serta dukungan teknis yang amat mapan. Sekuel rasanya sudah menanti jika film ini sukses komersial. Saya tak sabar menanti, kejutan apa lagi yang akan ditampilkan dalam lanjutan kisah filmnya kelak. Sejauh ini, industri film Korea sudah berjalan di arah yang benar untuk bisa bersaing dengan industri film raksasa Hollywood. Walau masih butuh usaha keras dan panjang, saya berharap industri film kita pun, bisa melakukan hal yang sama.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaOrang Betawi di Film dan Persoalan Identitas yang Tak Kelar-kelar
Artikel BerikutnyaMakmum
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.