The East (2020)
137 min|Drama, Thriller, War|13 Aug 2021
6.8Rating: 6.8 / 10 from 6,986 usersMetascore: 52
A young Dutch soldier deployed to suppress post-WWII independence efforts in the Netherlands' colony of Indonesia finds himself torn between duty and conscience when he joins an increasingly ruthless commander's elite squad.

Sebutkan film sejarah tentang masa-masa keberadaan Belanda di Indonesia yang angle kisahnya dari pihak Belanda, dan masukkan The East ke dalamnya! Film yang disebut pula dengan judul De Oost ini dibuat dengan memfokuskan garis besar ceritanya, berdasarkan salah satu peristiwa terkenal semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949), yakni operasi khusus oleh Raymond Westerling dan regunya di Sulawesi Selatan (1946-1947). Film sejarah bercampur thriller, peperangan, dan sejumput drama (keluarga) ini diarahkan oleh Jim Taihuttu (warga Belanda keturunan Maluku), dengan skenario yang ditulis olehnya bersama Mustafa Duygulu. Keduanya bukanlah nama yang kerap terdengar membuat film-film fiksi.

Sebelum menyutradarai The East, ternyata Jim selama ini lebih banyak menggarap video-video pendek. Hanya ada beberapa film fiksi dan dokumenter. Namun, sebenarnya ada nama lain yang patut menjadi sorotan selain mereka berdua, yakni salah seorang produser film ini yang bernama Shanty Harmayn (Perempuan Tanah Jahanam). The East melibatkan banyak company dalam produksinya, antara lain Base Entertainment, Ideosource Entertainment (Aruna & Lidahnya), Kaninga Pictures (Night Bus), Salto Films (The Photograph); serta tiga lainnya dari luar negeri, New Amsterdam Film Company, Wrong Men North, dan XYZ Films. Para pemeran untuk tokoh-tokoh Belanda-nya mungkin asing bagi penonton Tanah Air, seperti Martijn Lakemeier, Marwan Kenzari (Murder on the Orient Express), Jonas Smulders, dan Coen Bril; tetapi nama-nama yang memerankan sejumlah orang Indonesia ada Putri Ayudya, Lukman Sardi, serta Ence Bagus.

Pascakekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke-2, Belanda kembali menginjakkan kaki di Hindia (Indonesia) dengan alasan melindungi rakyat dan menjaga perdamaian di tanah jajahan. Meski dengan gamblangnya membawa alasan tersebut, tidak lantas memuluskan misi Belanda agar diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Bahkan penolakan yang paling keras melahirkan kelompok ekstrimis dari dalam negeri dengan pergerakan yang malah membahayakan sesama. Kompas moral Johan de Vries (Martijn Lakemeier) pun bereaksi. Muncul dalam pemikiran salah seorang prajurit yang dikirim dari Belanda ini untuk memberikan bantuan bagaimanapun caranya dan apapun bentuknya kepada orang Hindia. Hingga suatu ketika pertemuan pertamanya dengan De Turk –orang Turki—alias Raymond Westerling (Marwan Kenzari), mengawali serangkaian kerja sama mereka yang berujung pada sebuah pilihan.

Bila dibandingkan dengan (hanya sekelumit) film-film seputar sejarah Indonesia –terkhusus pada sepanjang masa penjajahan sampai perang kemerdekaan, The East merupakan salah satu yang berhasil. Paling tidak, para pembuat film ini telah menyediakan bahan yang bagus untuk membuka kembali ruang-ruang diskusi, mengenai sejarah Tanah Air (yang jujur) melalui salah satu peristiwanya dari angle yang berbeda.

Mengingat bahwa konten The East merupakan sejarah yang terjadi di Indonesia, maka sudah barang tentu terdapat warga Tanah Air pula di dalamnya. Keputusan bijak dengan melibatkan nama-nama yang sudah dikenal luas oleh khalayak sinema, untuk memerankan rakyat Indonesia. Mulai dari Ence Bagus, Putri Ayudya, hingga Lukman Sardi. Yang terakhir ini juga kerap kali muncul di sejumlah film sejarah.

Baca Juga  I Care a Lot

Mulanya, setengah awal The East terasa seperti kebanyakan film sejarah dengan gaya, tone, dan penceritaan selama ini. Hanya saja dari angle prajurit tentara Belanda. Menunjukkan dampak penjajahan di sejumlah titik, penolakan dari rakyat dalam negeri, serta serangkaian ucapan dari para serdadu. Tetapi pada separuh kedua ceritanya, film ini terkesan aneh dengan banyak adegan yang membingungkan. Buruk, tetapi juga baik pada saat yang sama. Ini buruk, bagi yang sudah terbiasa dengan format umum film sejarah akan menganggapnya sebagai film sejarah dengan gaya yang aneh. Baiknya, eksekusinya menarik, dengan menceritakan secara (hampir) berbarengan dua timeline dari tokoh sentralnya. Semasa masih menjadi prajurit dan selepas pulang ke Belanda.

Keberpihakan terhadap beberapa tokohnya pun malah jadi abu-abu karena mereka saling menyembunyikan maksud masing-masing. Tak jelas siapa lawan dan kawannya. Setidaknya demikian yang terjadi sampai di menit-menit akhir menjelang ending. Lebih-kurang, The East terasa seperti film-film dari para sineas yang menggemari gaya-gaya absurd dalam ‘meracik’ karya mereka. Tetapi (khusus) untuk The East ini, memang benar terdapat sejumlah lompatan adegan yang janggal, karena rasanya entah datang dari mana, pun motivasi kemunculannya terbilang lemah. Ending-nya bahkan mengejutkan (dalam arti lain). Tidak ada penyelesaian yang benar-benar memuaskan, kecuali sekadar pembalasan yang setimbang dari pertemuan terakhir (perpisahan) antara Johan dan Raymond. Lalu diselesaikan dengan bentuk pertanggungjawaban kompas moral dari Johan.

Kalau penonton The East buta sama sekali alias tak berbekal wawasan sejarah tentang aksi pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan, sudah pasti kebingungan mengenai spesifikasi setting waktunya. Kapan tepatnya peristiwa dalam film ini terjadi? Orang-orang hanya akan tahu bahwa setting waktunya berlangsung di sekitaran pascakekalahan Jepang dan kedatangan kembali Belanda. Tetapi hanya sebatas itu. Tanpa spesifikasi yang jelas, rentangnya terlalu panjang untuk menerka setting waktu yang digunakan dalam film. Untungnya keabu-abuan ini tidak terjadi pada latar tempatnya (di Indonesia). Namun benarkah hanya Semarang, Bali, Jakarta, dan Celebes (Sulawesi)? Sebab yang terlihat jelas hanya keempat daerah ini.

Barangkali memang ada, film-film yang tidak terlalu spesifik menunjukkan kapan latar waktu terjadinya cerita. Namun bukankah The East membicarakan salah satu peristiwa penting, dalam sejarah masa-masa awal kemerdekaan Indonesia? Dan tidak semua penonton sinema di Tanah Air benar-benar (cover both side) melek sejarah. Terutama mengetahui tentang adanya operasi yang dilakukan oleh seorang bernama Westerling di Sulawesi Selatan. Apalagi sosok, latar belakang, dan motivasinya.

The East memang layak untuk menjadi salah satu film sejarah yang patut ditonton, di antara film-film lain tentang sejarah Indonesia –yang jumlahnya tidaklah banyak. Terutama untuk masyarakat dalam negeri sendiri. Sudut pandang film ini juga aspek yang menarik, karena selama ini film-film sejenis hanya menghadirkan kisah-kisah yang didominasi oleh angle dari sisi Indonesia. Apresiasi pula untuk warga Belanda yang mau jujur terhadap sejarah dari masa-masa ‘itu’ melalui film ini.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaTill Death
Artikel BerikutnyaWerewolves Within
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.