The Father adalah film drama arahan sineas Perancis, Florian Zeller. Film ini dibintangi sederetan bintang tenar, antara lain, Anthony Hopkins, Olivia Coleman, Rufus Sewell, Imogen Poots, serta Olivia Williams. Seperti kita tahu, film ini diapresiasi begitu tinggi di banyak ajang festival film bergengsi, terakhir adalah nominasi film terbaik di ajang Academy Awards tahun ini dan lima kategori lainnya. Seberapa baguskah film ini?
Anthony (Hopkins) adalah seorang lelaki tua pikun yang tinggal bersama putrinya, Anne (Coleman). Anthony adalah penderita dementia berat yang selalu saja melupakan banyak hal di sekitarnya. Secara sederhana film ini menyajikan keseharian Anthony dari waktu ke waktu, juga Anne yang merawatnya sepenuh hati dengan rasa lelah dan frustasinya.
Bukan sisi drama yang menjadi titik kekuatan terbesar, namun adalah bagaimana cara mengemasnya. Film ini benar-benar terhitung baru dalam mengeksplorasi struktur plotnya. Plotnya bisa melompat maju atau mundur, mengulang (mirip loop), dibengkokkan ke sana kemari dengan sosok karakter dan setting yang berlainan (saling bertindihan satu sama lain). Dalam film fantasi atau bertema alam bawah sadar, teknik-teknik ini sering digunakan tapi tidak sebrilian dalam film ini. Tidak hanya relasi dengan tema “dementia” namun sekaligus situasi mental si tokoh utama dan pendukungnya. Kita yang menonton seolah sama frustasinya dengan si penderita. Absurd, tanpa kausalitas seperti layaknya film-film surealisme. Filmnya seolah bagai montage panjang yang menyajikan bagaimana pikiran dan otak sang tokoh bekerja.
Tak mudah berakting dalam peran semacam ini, namun Hopkins mampu memainkannya dengan gaya ekspresi khasnya yang sudah kita kenal baik. Rasa percaya diri, gelisah, tidak aman, marah, nyaman, takut, sedih, hingga frustasi mampu silih berganti dimainkan semuanya dengan sempurna oleh Hopkins. Rasanya, peran penuh emosi ini adalah salah satu peran terbaik sepanjang karir Hopkins. Nyaris semua pendukungnya juga bermain sangat baik, namun tentu adalah Olivia Coleman yang paling dominan dengan mampu memperlihatkan sangat baik rasa frustasi, sabar dan lelah nyaris sepanjang filmnya. Dengan hanya setting dan jumlah pemain minim, editing plus sisi sinematografi yang terukur, sang sineas mampu memberikan sentuhan estetiknya dengan cara yang sangat berkelas.
Baik secara personal, estetik, maupun cara bertuturnya, The Father adalah film terbaik yang mampu menggambarkan dengan brilian secara sinematik bagaimana penyakit dementia bekerja. Ibu saya sendiri adalah penderita dementia sehingga saya tahu persis bagaimana frustasinya si penderita serta orang-orang yang mendampinginya. The Father mampu menyajikannya dengan sempurna dari sudut pandang si penderita maupun orang-orang di sekitarnya.
Still Alice (2014) juga mengambil tema yang sama, namun The Father, tidak hanya menyajikan kualitas akting semata tapi mampu mengemasnya dengan struktur cerita yang brilian. Eksplorasi plotnya memang terhitung inovatif sehingga bisa saya istilahkan “struktur plot dementia”. Film ini rasanya memang bukan film yang mudah dipahami semua penonton. Dengan pengalaman personal dan sinematik yang saya miliki, bagi saya, film ini adalah film terbaik dari semua nominator lainnya di ajang Academy Awards.
Stay safe and Healthy!