Unsur kekerasan rupanya masih laris manis dijual, ini mengapa seri ini masih berlanjut. The Forever Purge adalah seri kelima dari franchise The Purge yang merupakan sekuel dari The Purge: Election Year (seri ketiga). Film ini digarap oleh Everardo Valario Gout dengan sang kreator, James DeMonaco masih menulis naskahnya. Produser kondang, Jason Blum dan sineas papan atas Michael Bay menjadi produsernya. Film ini dibintangi Josh Lucas, Ana de la Reguera, Tenoch Huerta, Cassidy Freeman, Leven Rambin, serta Will Patton. Film ini seharusnya rilis bulan Juli tahun lalu, namun ditunda selama setahun akibat pandemi. Setelah empat seri, apa lagi yang mau ditawarkan sekuelnya kini?

The Forever Purge tanpa ekspektasi rupanya menawarkan kisah cerita yang boleh dibilang mengejutkan. Delapan tahun setelah peristiwa Purge: Election Year, partai oposan yang kini memegang kendali pemerintahan kembali melakukan ritual tahunan The Purge. Jika belum pernah menonton seri ini, penjelasan singkatnya, dalam satu hari ini (12 jam: pukul 7 malam – pukul 7 pagi) siapapun boleh melakukan tindak kriminal termasuk membunuh tanpa ada konsekuensi hukum. Satu hal menarik, film kelimanya kali ini rupanya melanggar aturan ini.

Pasangan Juan (Huerta) dan Adela (Reguera) adalah imigran legal yang telah bekerja di wilayah Texas selama 10 bulan. Sementara Juan bekerja di ranch milik Caleb (Patton) yang putranya, Dylan (Lucas), tidak menyukai Juan. Malam The Purge terlewati dengan aman, tidak hingga pagi harinya, satu gerakan besar bernama Forever Purge melegitimasi kekerasan untuk selamanya. Situasi kota pun luluh lantak karena bentrok kelompok The Purge dengan militer. Juan, Adela, Dylan dan lainnya berjuang untuk lari ke perbatasan Meksiko, sembari bertahan hidup sepanjang perjalanan ke sana.

Baca Juga  The Curse of the Weeping Woman

Seperti seri sebelumnya, poin kisah filmnya hanyalah survival. Nyaris tanpa jeda dan istirahat. Sepanjang film, kita hanya melihat para protagonis berlari dan pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dalam perjalanan, satu dua momen pun terjadi, hingga klimaksnya kembali aksi yang sama berulang kembali. Tak banyak kejutan selain hanya penonton disuguhkan aksi ketegangan maksimum hingga klimaks. Fans genrenya, boleh jadi menikmati ini, dan memang dalam beberapa momen disajikan begitu seru. The Purge: Anarchy dengan sosok Frank Grillo-nya sejauh ini memang masih yang terbaik untuk urusan aksi dan sisi ketegangan.

Bukan sekuel terbaik dari sisi aksi thriller, namun The Forever Purge merefleksikan situasi kekerasan senjata serta konflik perbatasan AS-Meksiko dengan sempurna. Jika saja dirilis Bulan Juli tahun lalu, momennya sangat sempurna, ketika saat itu, momen Trump turun jabatan presiden, kekerasan rasis sangat intensif terjadi. Trump yang pro kekerasan, rasis, dan anti imigran menjadikan The Forever Purge adalah analogi yang ideal. Bahkan hingga kini pun, kekerasan senjata serta penembakan masal masih terjadi. Tercatat tahun ini saja sudah lebih dari 350 kasus dengan lebih dari 375 orang tewas dan ribuan orang terluka (sumber: CNN). “The Purge” secara literal sudah terjadi di AS saat ini. Ini sungguh memprihatinkan, terlebih di saat bersamaan umat manusia tengah berjuang melawan pandemi yang sudah menewaskan jutaan orang. Let’s pray for humanity.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaFear Street Part Three: 1666
Artikel BerikutnyaI
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.