The Green Knight adalah film drama sejarah fantasi arahan David Lowery yang sekaligus menjadi produser, penulis, dan editornya. Film berbujet USD 15 juta ini dibintangi oleh Dev Patel, Alicia Vikander, Sean Harris, serta Sarita Choudhury. Naskah film ini sendiri diadaptasi lepas dari cerita populer pada masa Raja Arthur (Abad 14), Sir Gawain and the Green Knight. Kisah ini sudah diadaptasi ulang beberapa kali, termasuk medium film dan pertunjukan.
Alkisah di istana Camelot pada malam Natal, Raja Arthur mengundang semua ksatrianya untuk merayakannya di meja bundar, termasuk Gawain (Patel), keponakannya. Mendadak, satu sosok monster (The Green Knight) datang menunggang kuda dengan membawa kapak, masuk ke tengah ruangan. Ia lalu menantang semua ksatria di sana, termasuk Arthur, untuk bermain dalam sebuah permainan kecil. Barang siapa yang mampu memenggal kepalanya, kapak sakti akan menjadi milik orang tersebut. Syaratnya, setahun setelah ini, sang ksatria harus datang ke kapelnya di mana sang monster akan ganti memenggal kepalanya. Tak ada satu pun yang bergeming, namun Gawain menerima tantangan tersebut dan menerima pujian dari semua orang. Satu tahun berlalu dengan cepat dan Gawain pun kini harus menemui sang monster untuk dipenggal kepalanya.
Harus diakui, ini adalah satu kisah unik yang dalam perkembangannya diadaptasi menyesuaikan masanya. Ketika membaca ringkasan cerita aslinya, naskah filmnya memang memiliki detil cerita berbeda. Kita memang tidak akan membahas ini tapi satu hal yang menarik adalah bagaimana sang sineas mengemas kisah ini dalam sebuah pengalaman estetik dan spritual yang menggugah.
Sosok Gawain digambarkan adalah seorang “calon” ksatria manja yang akrab dengan kesenangan duniawi dan gila pujian. Ia akan melakukan apapun untuk membesarkan namanya, dan ksatria hijau memberikannya jalan pintas. Singkatnya, permainan atau perjalanan ini menjadi sebuah tes keberanian dan loyalitasnya. Penggambaran petualangan Gawain disajikan secara absurd di luar nalar dan nuansa mistik pun tak pernah lepas dari semua adegannya. Tak mudah untuk memahami adegan demi adegannya yang bergerak lambat, namun tak sulit pula untuk memahami poin kisahnya setelah ending filmnya.
Kekuatan mise-en scene adalah satu poin terbesar dalam mendukung narasinya. Set, kostum, hingga semua propertinya yang natural dalam semua adegan interiornya sungguh membuat kita berdecak kagum. Permainan tata cahaya serta warna cahaya adalah satu aspek paling unik yang jarang sekali kita lihat dalam film modern masa kini. Suasana berkabut tipis nyaris menyelimuti seluruh adegan eksteriornya untuk membangun suasana mistiknya. Melihat semua pencapaian ini, rasanya tak sulit untuk mendapatkan penghargaan tertinggi (Oscar) dari sisi artistik.
Kekuatan setting-nya tidak luput dari tangkapan brilian sisi sinematografinya. Dengan komposisi yang matang dan terukur nyaris tak ada panorama indah yang terlewat. Satu shot-pun tidak ada yang lepas, semua diperhitungkan dengan cermat, termasuk penggunaan long take-nya yang seringkali digunakan. Sejak shot pembuka, gelagat keunikan sisi sinematografinya sudah terlihat jelas melalui pergerakan kameranya yang tak lazim. Sepanjang film, kita melihat bebagai pergerakan kamera yang dinamis, bahkan hingga satu momen kamera berputar terbalik. Satu shot panjang di dalam hutan yang berputar 360° (panning) disajikan begitu mengerikan menggambarkan Gawain yang terbaring terikat berlalu dalam waktu.
Beberapa aspek lain yang mendukung adalah kasting pemain. Dua yang dominan, tentunya adalah Patel dan Vikander. Patel kini lebih banyak menggunakan ekspresi ketimbang berdialog yang sosoknya memang pas memainkan seorang ksatria yang bimbang. Vikander bermain dalam dua sosok penting yang berlainan watak, yang rasanya tak sulit diperankan sang aktris. Satu lagi yang tak kalah penting dalam membangun mood dan suasana mistik adalah musik choir-nya yang menggema dalam banyak adegannya. Film ini sah-sah saja dikatakan film horor karena pendekatan estetik dan atmosfir kelamnya.
The Green Knight dengan segala pesona mise_en_scene, sinematografi, absurditas, imajinasi, serta kedalaman temanya adalah bukan untuk konsumsi penonton awam. Sebuah film bagus yang bisa jadi sulit untuk dipahami banyak orang karena cara bertutur dan kemasannya. Film ini adalah sebuah pencapaian estetik langka dalam beberapa dekade belakangan. Lalu film ini sebenarnya mau bicara tentang apa? Satu poinnya adalah tes keberanian untuk sang ksatria yang ternyata “bukan ksatria” hingga akhirnya ia harus menerima segala konsekuensinya. Kisahnya tentu bisa dilihat dari banyak perspektif sesuai konteks jamannya, bisa bicara soal keberanian, harapan, kejujuran, kemuliaan, dan lainnya. Bagi saya ini menarik karena simbol sosok sang monster sendiri mewakili “nature” dan Gawain mewakili “man”. Entah, apakah film ini mengarah ke sana atau tidak, namun visualnya banyak memberi petunjuk yang relevan dengan situasi kini (isu lingkungan), di mana alam pun tidak akan bisa diajak kompromi. Di penghujung shot, “Now, off with your head” kata sang ksatria hijau pada Gawain yang telah menyadari kesalahannya. Alam tidak pernah berbohong. Jika kita tidak mampu menyeimbangkan alam, maka alam yang akan menyeimbangkan kita.