Sejak tahu seri The Grudge (versi AS) akan diproduksi kembali, saya jelas pesimis, karena sekuelnya juga relatif tak ada gaungnya, walau secara komersial lumayan sukses. Satu hal yang unik, kabarnya film ini adalah sebuah reboot. Walau saya bingung, mau diapakan lagi kisahnya? Seri film ini, tentu yang terkuat adalah film pertamanya (2004) yang memang murni tribute film asli Jepang-nya (Ju-on) yang juga dibuat oleh sutradara yang sama (Takashi Shimizu). Film reboot-nya kini diarahkan oleh Nicholas Pesce serta masih pula diproduseri oleh Sam Raimi. Hal yang juga mengejutkan adalah film ini dibintangi beberapa nama populer, seperti Andrea Riseborough, John Choo, Lin Shaye, serta Demian Bichir. So, apa lagi yang mau ditawarkan reboot-nya kini? Saya sangat sarankan sebelum menonton film ini untuk menonton film pertamanya untuk memudahkan memahami kisahnya.
Satu hal yang menarik, kisah film ini rupanya berjalan simultan dengan film aslinya (The Grudge/2004). Film ini dimulai sesaat sebelum Yoko masuk ke dalam rumah terkutuk tersebut di Jepang. Fiona Landers adalah perawat yang merawat Emma, ibu dari keluarga William. Fiona merasakan suatu hal yang tak beres dengan rumah tersebut dan ia ingin segera pergi dari sana. Sesampainya di AS, rupanya kutukan tersebut berlanjut dan malapetaka pun kembali terjadi. Setelahnya, beberapa orang yang tinggal dan bahkan hanya masuk dalam rumah, terkena kutukan yang sama.
Kisah film ini sejak awal memang sudah amat menarik. Tentu ini membutuhkan informasi cerita dari seri pertamanya walau dalam perjalanan, semuanya dijelaskan secara sekilas. Istilah reboot, bagi saya kurang tepat untuk plot filmnya, namun spin-off rasanya lebih pas karena kisah aslinya (film pertama) secara simultan juga terjadi di seberang sana. Oke, untuk sementara diskusi ini kita abaikan dulu. Aspek franchise memang berkembang dinamis setiap saat dan ini adalah satu contoh sempurna.
Jika kisah The Grudge (2004) dan Ju-on (2002) dituturkan secara nonlinier, film spin-off-nya ini disajikan melalui serangkaian kilas-balik yang lumayan kompleks. Batasan linier dan nonlinier sangat tipis karena masing-masing kilas-balik berjalan secara bertautan yang tentu punya potensi membuat penonton awam kebingungan mengikuti plotnya. Filmnya memiliki empat subplot yang seimbang antara masa kini dan 3 masa lalu. Seolah rumah tersebut (seperti dijelaskan dalam satu adegan) tidak memiliki batasan waktu dan semua tokohyna saling terkait. Bagi saya, ini adalah sesuatu yang sangat segar dan menarik, serta tentu tidak mudah untuk membuat naskahnya hingga bisa enak diikuti sejak awal hingga akhir. Hanya sayangnya, di luar cara bertuturnya ini, film ini tidak memiliki sesuatu yang baru, baik secara teknis maupun genrenya.
The Grudge adalah sebuah spin-off yang cerdas melalui tribute film aslinya dengan cara bertuturnya yang unik, walau secara estetik (trik horor) tak ada lagi yang segar. Baik kejutan cerita maupun jump scare, tak mudah untuk diantisipasi para penikmat horor sejati. Film ini juga memilih berjalan “aman” untuk memberi jalan sekuelnya kelak jika film ini laris. Flop sepertinya tidak, namun sukses besar seperti film pertamanya, rasanya juga mustahil. Selain cara bertuturnya yang unik, film ini juga didukung kuat mayoritas para pemerannya yang bermain sangat baik. Walau bukan contoh yang sempurna, The Grudge (2020) adalah satu contoh bagus bagaimana film franchise horor seharusnya diperlakukan. Jika ada sekuelnya kelak, tentu saya menanti kejutan lain.