The In Between (2022)
115 min|Drama, Romance, Sci-Fi|11 Feb 2022
5.9Rating: 5.9 / 10 from 9,737 usersMetascore: N/A
After surviving a car accident that took the life of her boyfriend, a teenage girl believes he's attempting to reconnect with her from the after world.

Setelah Ghost (1990), puluhan film mencoba mengekor sukses film ini, namun tak banyak yang berhasil. The In Between mencoba peruntungannya dengan menggunakan konsep kisah yang serupa. The In Between adalah film arahan Arie Posin yang dibintangi bintang muda, Joey King dan Kyle Allen. Film ini dirilis platform Paramount + awal Februari lalu dan hari ini dirilis di platform Netflix. Lantas, apakah film ini  selevel dengan Ghost?

Tessa (King) adalah gadis remaja yang tinggal bersama orang tua angkatnya. Tessa yang penyendiri dan berhobi fotografi secara tak sengaja bertemu dengan seorang pria menarik, Skylar (Allen). Setelah ini, mereka berhubungan semakin dekat. Malang, kecelakaan tragis menimpa, sang kekasih tewas, dan Tessa pun trauma berat. Dalam kesedihannya, Tessa merasakan kehadiran sang pacar di dekatnya. Ia pun mencoba dengan cara apapun untuk bisa berkomunikasi dengan Skylar.

Untuk remaja masa kini, Ghost mungkin terlalu kuno untuk ditonton, tapi kisahnya kurang lebih mirip. Hanya saja, segala hal yang menjadi kekuatan kisah Ghots berbanding terbalik dengan The In Beetween. Dari segi penuturan kisah, The In Between bisa dikatakan menarik, dengan menggunakan teknik kilas-balik yang membuat plotnya maju mundur sepanjang film, yakni sebelum dan sesudah peristiwa kecelakaan. Pembeda tone warna gambar pun disajikan sangat baik di antara dua segmen utama tersebut. Yang satu cerah (oranye) dan satu lagi sendu (kebiruan). Ini masih ditambah pula sisi sinematografi yang amat mapan. Sayangnya, kekuatan teknisnya, termasuk penampilan apik dua kasting utamanya (King dan Allen), tidak mampu banyak mengangkat filmnya.

Baca Juga  Black Box

Satu catatan besar, alur kisahnya mudah ditebak dan konflik antara Tessa dan Sky menjelang klimaks tampak sekali terlalu dipaksakan. Banyak film roman terjebak di momen ini untuk segera bisa mengakhiri cerita dengan satu tokohnya mendadak dibuat egois. Satu lagi hal yang konyol adalah sisi supernaturalnya yang berlebihan. Ini justru melemahkan chemistry kisahnya. Sang roh rupanya butuh segala atensi untuk bisa menarik perhatian Tessa (dan orang lain) dengan segala cara yang prosesnya begitu absurd dan tak masuk akal. Contoh saja, satu adegan mobil bisa saja membuat banyak orang tewas dalam prosesnya. Ini untuk apa? Mengapa harus dengan cara begitu berbelit dan demikian kasar?

Versi inferior dari Ghost, The In Between terjebak dalam konsep metafisik yang dangkal dan memaksa tanpa mampu menggiring menjadi kisah drama yang menyentuh. Bermain-main dengan alam roh dan segala atributnya memang bukan perkara mudah untuk ditulis dalam naskah. Tidak ada orang yang tahu ini secara pasti dan juga tak mampu dibuktikan ilmiah. Poin filmnya memang tidak ke ranah ini dan konsep kisahnya hanya menjadi analogi dari trauma atau rasa bersalah. Secara gamblang di adegan penghujung, Tessa memaparkan secara verbal semua poin penderitaannya di sini, dan ini jelas bukan cara yang elegan untuk menutup sebuah film. Hasil potret Tessa sebenarnya sudah mampu bicara bahwa cinta/passsion bisa melewati semua masalah.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaThirty Nine
Artikel BerikutnyaAll the Old Knives
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.