Setelah Ghost (1990), puluhan film mencoba mengekor sukses film ini, namun tak banyak yang berhasil. The In Between mencoba peruntungannya dengan menggunakan konsep kisah yang serupa. The In Between adalah film arahan Arie Posin yang dibintangi bintang muda, Joey King dan Kyle Allen. Film ini dirilis platform Paramount + awal Februari lalu dan hari ini dirilis di platform Netflix. Lantas, apakah film iniĀ selevel dengan Ghost?
Tessa (King) adalah gadis remaja yang tinggal bersama orang tua angkatnya. Tessa yang penyendiri dan berhobi fotografi secara tak sengaja bertemu dengan seorang pria menarik, Skylar (Allen). Setelah ini, mereka berhubungan semakin dekat. Malang, kecelakaan tragis menimpa, sang kekasih tewas, dan Tessa pun trauma berat. Dalam kesedihannya, Tessa merasakan kehadiran sang pacar di dekatnya. Ia pun mencoba dengan cara apapun untuk bisa berkomunikasi dengan Skylar.
Untuk remaja masa kini, Ghost mungkin terlalu kuno untuk ditonton, tapi kisahnya kurang lebih mirip. Hanya saja, segala hal yang menjadi kekuatan kisah Ghots berbanding terbalik dengan The In Beetween. Dari segi penuturan kisah, The In Between bisa dikatakan menarik, dengan menggunakan teknik kilas-balik yang membuat plotnya maju mundur sepanjang film, yakni sebelum dan sesudah peristiwa kecelakaan. Pembeda tone warna gambar pun disajikan sangat baik di antara dua segmen utama tersebut. Yang satu cerah (oranye) dan satu lagi sendu (kebiruan). Ini masih ditambah pula sisi sinematografi yang amat mapan. Sayangnya, kekuatan teknisnya, termasuk penampilan apik dua kasting utamanya (King dan Allen), tidak mampu banyak mengangkat filmnya.
Satu catatan besar, alur kisahnya mudah ditebak dan konflik antara Tessa dan Sky menjelang klimaks tampak sekali terlalu dipaksakan. Banyak film roman terjebak di momen ini untuk segera bisa mengakhiri cerita dengan satu tokohnya mendadak dibuat egois. Satu lagi hal yang konyol adalah sisi supernaturalnya yang berlebihan. Ini justru melemahkan chemistry kisahnya. Sang roh rupanya butuh segala atensi untuk bisa menarik perhatian Tessa (dan orang lain) dengan segala cara yang prosesnya begitu absurd dan tak masuk akal. Contoh saja, satu adegan mobil bisa saja membuat banyak orang tewas dalam prosesnya. Ini untuk apa? Mengapa harus dengan cara begitu berbelit dan demikian kasar?
Versi inferior dari Ghost, The In Between terjebak dalam konsep metafisik yang dangkal dan memaksa tanpa mampu menggiring menjadi kisah drama yang menyentuh. Bermain-main dengan alam roh dan segala atributnya memang bukan perkara mudah untuk ditulis dalam naskah. Tidak ada orang yang tahu ini secara pasti dan juga tak mampu dibuktikan ilmiah. Poin filmnya memang tidak ke ranah ini dan konsep kisahnya hanya menjadi analogi dari trauma atau rasa bersalah. Secara gamblang di adegan penghujung, Tessa memaparkan secara verbal semua poin penderitaannya di sini, dan ini jelas bukan cara yang elegan untuk menutup sebuah film. Hasil potret Tessa sebenarnya sudah mampu bicara bahwa cinta/passsion bisa melewati semua masalah.