The In Between (2022)
115 min|Drama, Fantasy, Romance|11 Feb 2022
5.9Rating: 5.9 / 10 from 10,712 usersMetascore: N/A
After surviving a car accident that took the life of her boyfriend, a teenage girl believes he's attempting to reconnect with her from the after world.

Setelah Ghost (1990), puluhan film mencoba mengekor sukses film ini, namun tak banyak yang berhasil. The In Between mencoba peruntungannya dengan menggunakan konsep kisah yang serupa. The In Between adalah film arahan Arie Posin yang dibintangi bintang muda, Joey King dan Kyle Allen. Film ini dirilis platform Paramount + awal Februari lalu dan hari ini dirilis di platform Netflix. Lantas, apakah film iniĀ  selevel dengan Ghost?

Tessa (King) adalah gadis remaja yang tinggal bersama orang tua angkatnya. Tessa yang penyendiri dan berhobi fotografi secara tak sengaja bertemu dengan seorang pria menarik, Skylar (Allen). Setelah ini, mereka berhubungan semakin dekat. Malang, kecelakaan tragis menimpa, sang kekasih tewas, dan Tessa pun trauma berat. Dalam kesedihannya, Tessa merasakan kehadiran sang pacar di dekatnya. Ia pun mencoba dengan cara apapun untuk bisa berkomunikasi dengan Skylar.

Untuk remaja masa kini, Ghost mungkin terlalu kuno untuk ditonton, tapi kisahnya kurang lebih mirip. Hanya saja, segala hal yang menjadi kekuatan kisah Ghots berbanding terbalik dengan The In Beetween. Dari segi penuturan kisah, The In Between bisa dikatakan menarik, dengan menggunakan teknik kilas-balik yang membuat plotnya maju mundur sepanjang film, yakni sebelum dan sesudah peristiwa kecelakaan. Pembeda tone warna gambar pun disajikan sangat baik di antara dua segmen utama tersebut. Yang satu cerah (oranye) dan satu lagi sendu (kebiruan). Ini masih ditambah pula sisi sinematografi yang amat mapan. Sayangnya, kekuatan teknisnya, termasuk penampilan apik dua kasting utamanya (King dan Allen), tidak mampu banyak mengangkat filmnya.

Baca Juga  Dream Scenario

Satu catatan besar, alur kisahnya mudah ditebak dan konflik antara Tessa dan Sky menjelang klimaks tampak sekali terlalu dipaksakan. Banyak film roman terjebak di momen ini untuk segera bisa mengakhiri cerita dengan satu tokohnya mendadak dibuat egois. Satu lagi hal yang konyol adalah sisi supernaturalnya yang berlebihan. Ini justru melemahkan chemistry kisahnya. Sang roh rupanya butuh segala atensi untuk bisa menarik perhatian Tessa (dan orang lain) dengan segala cara yang prosesnya begitu absurd dan tak masuk akal. Contoh saja, satu adegan mobil bisa saja membuat banyak orang tewas dalam prosesnya. Ini untuk apa? Mengapa harus dengan cara begitu berbelit dan demikian kasar?

Versi inferior dari Ghost, The In Between terjebak dalam konsep metafisik yang dangkal dan memaksa tanpa mampu menggiring menjadi kisah drama yang menyentuh. Bermain-main dengan alam roh dan segala atributnya memang bukan perkara mudah untuk ditulis dalam naskah. Tidak ada orang yang tahu ini secara pasti dan juga tak mampu dibuktikan ilmiah. Poin filmnya memang tidak ke ranah ini dan konsep kisahnya hanya menjadi analogi dari trauma atau rasa bersalah. Secara gamblang di adegan penghujung, Tessa memaparkan secara verbal semua poin penderitaannya di sini, dan ini jelas bukan cara yang elegan untuk menutup sebuah film. Hasil potret Tessa sebenarnya sudah mampu bicara bahwa cinta/passsion bisa melewati semua masalah.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaThirty Nine
Artikel BerikutnyaAll the Old Knives
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.