The King's Man (2021)
131 min|Action, Adventure, Thriller|22 Dec 2021
6.3Rating: 6.3 / 10 from 191,255 usersMetascore: 44
In the early years of the 20th century, the Kingsman agency is formed to stand against a cabal plotting a war to wipe out millions of people.

The King’s Man merupakan film prekuel dari dua seri sebelumnya Kingsman: The Secret Service (2014) serta Kingsman: The Golden Circle (2017). Film ini kembali diarahkan oleh sineas aksi kawakan Matthew Vaughn. Film ini dibintangi sederetan kasting ternama, antara lain Ralph Fiennes, Genma Arteton, Jimon Honsou, Charles Dance, Tom Holland, Rhys Ifans, serta Harris Dickinson. Dua film pendahulunya adalah film aksi spionase menghibur dengan sentuhan humor yang kuat, kali ini sang sineas membuat pendekatan sama sekali berbeda.

Ringkasnya, film ini menceritakan bagaimana organisasi rahasia Kingsman dibentuk dan apa motif yang melatarbelakanginya dengan latar belakang Perang Dunia Pertama. Seorang bangsawan bernama Duke Orlando of Oxford (Fiennes) adalah pendiri utamanya. Satu peristiwa membuat Orlando berjanji pada mendiang istrinya untuk melindungi putera mereka, Conrad, dari kejamnya perang. Beberapa tahun berselang, sang putera ternyata masih saja berniat untuk maju ke medan perang. Sang ayah menawarinya untuk berperang dalam bentuk berbeda, yakni satu aksi rahasia untuk mencegah sebuah perang terjadi. Bersama sang ayah, Conrad pun terlibat dalam satu aksi spionase yang melibatkan sosok mistik, Gregori Rasputin yang mengontrol sang kaisar Tsar di Rusia.

Berdurasi cukup panjang, film ini boleh jadi terlihat membosankan di separuh awal. Namun sebuah kejutan besar, membuat kisahnya berbalik arah. Tempo kisahnya pun mulai berjalan intens dan menarik, serta adegan aksi mulai mendominasi hingga klimaks. Tidak seperti dua film sebelumnya yang menghibur dan penuh humor, secara mengejutkan, prekuelnya adalah film drama serius yang terfokus pada hubungan ayah dan puteranya. Satu peristiwa besar menjelang babak ketiga yang mengagetkan, mengubah segalanya. Film ini ditutup secara memuaskan dengan sebuah aksi klimaks dan resolusi tentang organisasi yang menjadi titelnya. Keberanian untuk mengubah tone film, dari hiburan ringan menjadi drama serius sungguh patut diapresiasi. Sisi komedi yang kadang terlalu berlebihan adalah satu poin yang membuat dua film sebelumnya kehilangan sensasi ancaman dari antagonis.

Baca Juga  My Spy

Sementara dalam The King’s Man, sisi aksinya yang serius membuat ancaman pun terlihat serius. Sebelum klimaks, tercatat ada dua momen aksi yang sangat mengesankan. Pertama adalah duel antara sang ayah dan Rasputin, lalu kedia adalah aksi di medan perang yang melibatkan Conrad. Dengan pencapaian sisi artistik dan koreografi yang mengagumkan adegan duel unik ini disajikan secara menarik dengan selipan humor berkelas. Sementara adegan di medan perang, disajikan secara nyata melalui tata artistik yang mengagumkan. Walau tidak seekstrem dan brutal seperti dua pendahulunya (misal saja aksi pembantaian di dalam gereja), aksi-aksi kerasnya kini lebih diperhalus dan disajikan elegan.

Sebuah kejutan kecil, tidak seperti dua pendahulunya (sisi humor), The King’s Man adalah sebuah kisah prekuel serius dengan sisi drama yang kuat plus aksi-aksi mengesankan. Para kasting seniornya adalah kunci utama yang membuat sisi dramanya terlihat lebih kuat, khususnya Fiennes, serta Rhys Ifans yang mencuri perhatian melalui perannya sebagai Rasputin. Walau tidak bisa dibilang istimewa, namun usaha untuk mengubah formula dan tone filmnya adalah sebuah tantangan dan memiliki resiko besar yang jarang dilakukan banyak pembuat film. Bagi saya, film sekuelnya ini jauh lebih baik dari dua pendahulunya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaHawkeye
Artikel BerikutnyaYuni
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses