Setelah sukses Palm Springs masuk nominasi film terbaik Golden Globe tahun ini, plot time loop rasanya bakal bisa menjadi subgenre ke depannya. Setelah Boss Level, The Map of Tiny Perfect Things semakin menambah panjang penggunaan plot unik ini yang kali ini mengeksplorasinya melalui genre komedi roman remaja. Baguskah? Jawabnya, plot time loop kembali mampu mendukung kisah film ini dengan sangat baik.

The Map of Tiny Perfect Things adalah film arahan sineas debutan Ian Samuel yang naskahnya ditulis oleh Lev Grossman berdasarkan kisah cerita pendek yang ditulisnya. Film ini dibintangi oleh dua bintang muda, Kathryn Newton dan Kary Allen. Film berdurasi 99 menit ini dirilis oleh platform Prime Video beberapa hari yang lalu.

Tanpa alasan yang tak bisa ia pahami, Mark (Allen) menjalani pengulangan waktu di hari yang sama, entah sudah berapa lamanya. Hari-hari Mark diisi dengan rutinitas membantu warga kota kecil tersebut dengan hal-hal yang sifatnya sepele. Suatu ketika, seorang gadis, Margareth (Newton), menginterupsi rutinitasnya yang ternyata mereka berdua terjebak dalam anomali yang sama. Kedekatan mereka pun membuat Mark jatuh hati pada sang gadis. Tidak seperti Mark yang ingin segera keluar dari kutukan ini, sebaliknya, Margareth justru tampak menikmati ini semua.

Plot time loop seperti tidak pernah miss. Para pembuat film seperti begitu bergairah menemukan pendekatan yang berbeda dan segar untuk format plot unik ini. Melalui kisahnya, Perfect Things mampu membuka celah baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Walau Palm Spings dan Boss Level juga sama-sama masuk di tengah cerita (time loop-nya), namun kisah Perfect Things memiliki pendekatan yang berbeda melalui dua tokoh utamanya yang masih remaja. Anomali ini tentu membuat mereka lebih dewasa dari umurnya yang memunculkan banyak dialog cerdas dan diskusi yang menarik tentang banyak hal. Satu kejutan kecil menjelang penutup, juga membuat kedalaman kisah dan pesannya tak bisa dianggap remeh.

Baca Juga  Planet of the Humans

Dua protagonis utama, khususnya Newton, menjadi bintang dengan chemistry mereka berdua yang amat menggemaskan. Chemistry keduanya terjalin sabar dengan semakin lama semakin menguat berjalannya cerita. Sisi misteri sosok Margareth yang secara brilian disimpan hingga akhir, juga mampu membuat kisahnya semakin dramatik dan menyentuh. Sentuhan sineas juga tak luput mendukung keberhasilan film ini melalui sisi sinematografi dan editing yang dinamis. Plot berulang macam ini tentu memicu banyak teknik montage yang disajikan amat menawan dalam banyak adegannya. Tak ada sedikit pun rasa bosan sepanjang kisahnya berjalan. Satu hal yang menarik, film ini juga seringkali menyinggung film populer lain, termasuk dua film plot berulang masterpiece, The Groundhog Day dan Edge of Tomorrow.

Film drama komedi roman remaja The Map of Tiny Perfect Things, lagi-lagi adalah satu varian plot time loop segar, enerjik, serta menghibur dengan pendekatan dan kedalaman tema yang tak lazim untuk target genrenya. Perfect Things, walau dikemas sederhana, sebenarnya adalah film kompleks dengan banyak subtansi esensi hidup di rutinitas keseharian kita yang mudah kita lewatkan. Kisah film ini mampu memberi pemahaman yang manusiawi bahwa untuk menangkap sinyal semesta memang butuh waktu dan pengalaman yang amat panjang, baik suka dan duka.

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaWilly’s Wonderland
Artikel BerikutnyaI Care a Lot
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.