The Vast of Night (2019)
91 min|Drama, Mystery, Sci-Fi|29 May 2020
6.7Rating: 6.7 / 10 from 46,124 usersMetascore: 84
One night in New Mexico, in the late 1950s, a switchboard operator and radio DJ start hearing a strange signal over a radio frequency.

The Vast of Night adalah film fiksi ilmiah arahan sineas debutan Andrew Patterson. Film ini dibintangi oleh aktor-aktris muda, Jake Horowitz dan Sierra McCormick. Film ini dirilis akhir bulan lalu melalui media streaming serta pula uniknya di drive-in theatre di AS. Film ini juga meraih penghargaan di ajang festival independen bergengsi, Slamdance Film Festival tahun lalu. Seberapa baguskah filmya? Sungguh di luar ekspektasi!

Kisah filmnya terfokus hanya pada dua orang tokoh saja, yakni Fay (McCormick) dan Everett (Horowitz) yang berlatar di satu kota kecil, Cayuga di New Mexico, AS tahun 1950-an. Fay adalah operator telepon di kota tersebut dan Everett adalah seorang penyiar radio WOTW, satu-satunya stasiun radio di sana. Malam itu adalah malam istimewa di Cayuga karena semua warga kota datang ke acara pertandingan basket di stadion kota. Di kota yang mendadak senyap ini, Fay yang tengah bekerja, mendadak mendapat suara sinyal aneh di ujung gagang teleponnya. Fay meneruskan ini ke Everett yang lalu menyiarkannya ke radio. Seorang pemirsa tua merespon dan mengatakan pernah mendengar hal serupa di masa mudanya ketika sebuah benda asing melintas wilayahnya. Fay dan Everett mencoba untuk menguak misteri ini, sementara seluruh warga masih menikmati pertandingan basket.

Wow! Film ini rasanya adalah satu hal yang terbaik bagi saya sebagai penikmat fiksi ilmiah dalam dua dekade terakhir. Menonton The Vast of Night seperti menonton film-film fiksi ilmiah era 70-an serta ada pula sentuhan Spielberg dan Lucas di sana. Uniknya pula, jika ada yang pernah tahu serial misteri Twilight Zone, film ini dikemas seolah seperti menjadi satu episode dalam serial ini. Bagi saya, film ini adalah sebuah pencapaian istimewa, terlebih digarap oleh sineas debutan. Sang sineas tidak hanya membawa elemen nostalgia, namun juga amat terampil mengolah naskah (khususnya dialog) dan pengadeganannya menjadi sebuah sajian thriller intens yang sangat berkelas. Sejak awal hingga akhir tidak ada satu pun momen yang lepas, seolah adalah satu tarikan nafas yang panjang. Tak terasa kita sudah melewati 90 menit durasi filmnya.

Dialog, Akting, dan kamera. Tiga faktor ini adalah yang menjadi kekuatan terbesar filmnya. Film ini tanpa ada satu menit pun yang tidak menggunakan dialog. Cepat pula. Kisahnya berjalan “real time”, sejak detik pertama, nyaris tidak pernah putus hingga film berakhir. Sejak adegan awal, yang banyak mengingatkan pada American Graffity karya George Lucas, kamera bergerak dinamis mengikuti dua tokoh utama kita yang berjalan mengelingi stadion, tempat parkir stadion, hingga kita diajak berkeliling kota Cayuga. Tak ada satu pun yang miss. Dua tokoh ini memiliki chemistry sangat kuat dengan dialog-dialog mereka yang terlontar, layaknya permainan ping-pong. Beberapa shot sering kali menggunakan long take secara efektif dalam momen tertentu. Satu “long take” (tak melihat ada interupsi) mengesankan jelas adalah ketika kamera bergerak dari tempat Fay melintasi kota dan stadion hingga ke radio WOTW tempat Everett bekerja yang disajikan melalui satu shot tanpa terputus.

Baca Juga  Come Play

Horowits dan McCormick. Penampilan mereka, rasanya adalah salah satu chemistry terbaik dalam film beberapa dekade terakhir. Dua bintang muda ini begitu natural dalam melontarkan dialog, layaknya film-film klasik era emas Hollywood. Naskahnya yang luar biasa memang membuat segalanya begitu mudah bagi mereka. Secara cerdas, dialog mendadak bisa berubah ke arah lain di tengah situasi genting. Saya hanya tertawa sampil bertepuk tangan, ketika Fay berkata, “mengapa kamu selalu mengubah tone suara menjadi berbeda ketika kamu merekam suaramu?”. Dialog selipan dengan humor cerdas macam ini sudah langka di film-film modern kini. Jujur saja, jika film ini hanya berisi dialog Fay dan Everett yang berjalan dari stadion ke kota, saya pasti akan bakal menikmatinya, more than ever.

The Vast of Night dengan kisah sederhana dan kemasan nostalgia nan efektif, tempo dan dialog tanpa henti, serta penampilan mengesankan dua bintang mudanya, dengan spirit film sci-fi era 70-an, adalah mudah dikatakan sebagai satu film fiksi ilmiah independen terbaik yang pernah diproduksi. Pujian tinggi untuk sang sutradara dan saya angkat topi tinggi-tinggi. Kelihatan sekali, para pembuat dan para pemain  sangat menikmati dalam produksi filmnya dan passion ini tampak dalam filmnya. Filmnya jelas bisa jauh lebih baik lagi, namun untuk level produksinya, ini sudah lebih dari cukup. Sebagai penikmat film dan fans berat genre fiksi ilmiah, saya hanya bisa mengatakan The Vast of Night adalah sebuah masterpiece. Film macam ini yang membuat saya mencintai medium ini more than ever.

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe High Note
Artikel BerikutnyaInfection
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.