Tigertail (2020)
91 min|Drama|10 Apr 2020
6.6Rating: 6.6 / 10 from 3,887 usersMetascore: 65
In this multigenerational drama, a Taiwanese factory worker leaves his homeland to seek opportunity in America, where he struggles to find connection while balancing family and new-found responsibilities.

Tigertail adalah film drama arahan Alan Yang yang merupakan debut film panjangnya setelah sukses karirnya di televisi. Film produksi Netflix ini dibintangi beberapa pemain Asia Amerika, seperti Tzi Ma, Christine Ko, serta Joan Chen. Film yang berkisah tentang imigran asal Asia yang tinggal di AS memang terhitung langka. Tigertail mengemasnya melalui kisah yang sederhana dan menyentuh.

Pin-Jui telah hidup susah sejak cilik bersama neneknya hingga akhirnya dibawa ibunya ke kota pinggiran,  Huwei di Taiwan. Pin-jui menjalin asmara dengan teman gadis masa kecilnya, Yuan. Namun, impian Pin-jui adalah membawa ibunya dan Yuan ke Amerika. Ambisinya membawa Pin-jui akhirnya menikahi Zhenzhen, putri bos pemilik pabrik di tempat ia bekerja, serta mengorbankan cinta sejatinya. Setelah pindah ke AS, suka duka kehidupan mengalir hingga ia beranjak tua yang kini meratapi kekosongan hidupnya.

Kisahnya sederhana yang secara unik diselingi kilas balik dari masa ke masa. Di momen tertentu malah alurnya serasa disajikan “nonlinier”. Sekalipun berpindah ke masa kini dan masa lalu, namun penonton tetap mudah memahami timeline kisahnya. Masa kini dan silam saling mengisi secara harmonis untuk memberi informasi cerita ke penonton. Sisi editing memang menjadi kekuatan tersendiri yang mendukung naskahnya. Satu montage unik disajikan ketika Pin-jui menutup dan membuka tokonya menunjukkan keseharian hidupnya di AS yang monoton.

Baca Juga  Love Wedding Repeat - English

Sisi sinematografi berkesan tak memiliki keistimewaan karena banyak shot-nya yang statis dan kaku. Namun, di balik ini tersimpan banyak motif dalam shot-nya. Pin-jui tua seringkali digambarkan sosoknya yang tengah sendirian dengan dipertegas frame interior setting yang seolah ia terkungkung dalam ruang tertutup. Di awal hingga menjelang akhir, Pin-jui ketika bersama sang putri, nyaris tidak ada shot mereka berada dalam satu frame, jika ada pun, jarak mereka selalu berjauhan (atau efek blur). Dalam segmen akhir, shot Pin-jui dan Angela secara mengejutkan hampir seluruhnya dalam satu frame yang jaraknya berdekatan. Film ini bisa menjadi text book untuk mempelajari bahasa visual secara sederhana.

Dengan gaya estetik sederhana dan elegan, Tigertail menyajikan kisah drama yang menyentuh tentang keluarga dan impian hidup. Tidak hingga akhir, kita baru tahu jika Huwei, kota tempat tinggal Pin-Jui dan ibunya bermakna “Tigertail”. Sesukses apapun seseorang tinggal di negeri seberang, tetap saja kampung halaman adalah sebuah pengalaman batin yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Tigertail” bagi Pin-jui adalah pelajaran hidup untuk menghargai sesuatu yang bernilai bagi kita untuk tidak melepasnya begitu saja karena nafsu dan ambisi. Tigertail juga memberikan pelajaran bagi kita, selalu ada waktu untuk memperbaiki kesalahan hidup, selama kita bisa membuka jiwa dan hati. Selamat menonton.

Stay Safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaLove Wedding Repeat
Artikel BerikutnyaRussian Doll
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.