Setelah selesai bereksperimen terhadap komedi drama melalui Sabar Ini Ujian dengan time loop-nya, Anggy Umbara kembali menjajal konsep penceritaan lain terhadap genre tersebut dengan menambahkan unsur crime dan sains, untuk mengemas sebuah film berjudul Till Death Do Us Part. Bukan hanya mengarahkan, ia pun mengerjakan skenario film ini bersama seorang penulis pendatang baru, Erwin Dhia Falah. Film produksi MD Pictures dan Umbara Brothers Film ini diperankan oleh Rizky Nazar, Syifa Hadju, Verdi Solaiman, Unique Priscilla, dan Karina Suwandhi. Jadi, eksperimen macam apa lagi yang kali ini dilakukannya?

Kisahnya sendiri bermula dari kedatangan Vanesha (Syifa Hadju), seorang selebritas yang terkenal di panggung seni peran ke sebuah kantor media. Hanya ada satu nama yang dicari olehnya di sana, dan itu adalah Arya (Rizky Nazar). Sementara itu, Arya malah tak tahu-menahu perihal sosok perempuan yang mendatanginya tersebut. Sontak, sang wanita mengeluarkan pistol dan menyandera seisi ruangan, termasuk Arya. Keduanya bersitegang. Vanesha yakin mereka berdua pernah menjalin hubungan dan tiba-tiba ditinggal pergi, tetapi Arya –bahkan juga rekan-rekan sekantornya, tetap bersikeras baru kali pertama bertemu dengan Vanesha secara langsung pada saat itu. Satu demi satu cerita masa lalu Vanesha –yang diyakininya bersama Arya—pun dituturkannya mulai dari sini.

Secara garis besar selain konten drama, sisi komedi, dan sci-fi-nya, Till Death Do Us Part punya aspek fiktif yang sangat besar. Misalnya, mungkinkah seorang wanita dengan pistol di tangan, berdiri menodongkannya ke orang lain selama sekian jam tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya perlawanan terhadapnya? Sedangkan, di sekelilingnya ada banyak orang yang bisa melakukan beragam hal, demi menghentikan aksi wanita tersebut. Pada satu sisi, bisa saja ini diterima sebagai bentuk kreatif pengolahan cerita. Namun pada saat yang sama, ini juga membuat seluruh tokoh lain yang terlibat di TKP aksi, selain sang wanita dan targetnya, terlihat bodoh dan konyol. Seolah mereka ada di sana hanya menjadi boneka untuk mengisi kekosongan ruangan sebagai sandera belaka.

Memang konsep penerangan ceritanya “agak” menarik. Ketika alurnya maju-mundur dengan beberapa kali menampilkan kilas balik, lalu sebuah jawaban dari segala misteri yang ada dalam film hadir di bagian ending sebagai bentuk sci-fi-nya. Tetapi ketidaklogisan dari unsur fiksinya terasa sangat aneh dan mengganjal. Seseorang yang menonton film ini pasti berpikir, betapa bodoh tokoh-tokoh lain yang berada di ruangan yang sama, karena tidak melakukan tindakan penghentian aksi yang signifikan, untuk satu orang wanita yang hanya menggenggam sebatang pistol dengan amunisi yang jelas terbatas. Petugas keamanan kantor dan polisi yang di kemudian waktu datang pun tak jauh berbeda konyolnya.

Baca Juga  Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji

Tidak semua ketidaklogisan suatu peristiwa itu menarik, dan tidak semua ketidaklogisan yang menarik itu bisa diterima. Sekalipun berlindung di bawah kategori “fiksi”. Till Death Do Us Part, menunjukkan sebuah ketidaklogisan peristiwa yang bisa saja dianggap punya sisi menarik, tetapi masih sukar diterima saking tanggungnya eksekusi adegannya. Memasukkan unsur kriminal, namun terlalu sederhana untuk dampak yang luar biasa. Unsur kriminal dalam Comic 8: Casino Kings Part 1 bahkan lebih baik dari yang ada dalam film ini.

Lamanya segmen crime berlangsung berupa penodongan pistol oleh Vanesha pun memberi kesan durasinya terlalu dipaksakan, semata-mata karena harus mencukupi kebutuhan untuk menyampaikan rangkaian kronologi kejadian dari masa lalu Vanesha dan Arya melalui flashback. Ini sangat buruk, karena aksi kriminal berupa penodongan senjata api –apalagi pistol—tanpa peluru cadangan, terlalu sederhana sebagai ancaman yang bisa sampai menahan pergerakan banyak karyawan kantor dalam satu TKP, dalam rentang waktu yang tak dapat dikatakan sebentar.

Sebetulnya, sisi yang menarik dari film ini ada pada isu lingkungan dan teori yang dibahas oleh dua tokoh utamanya, seperti dimensi paralel, time travel, dan fisika kuantum. Tak ketinggalan pula sineas Till Death Do Us Part memasukkan pula sejumlah film yang menjadi referensi implementasi sains menjadi kisah yang filmis. Sampai dengan menerapkan sedikit dari yang ada dalam teori-teori tersebut sebagai konsep penceritaan. Namun, ada satu hal yang menjadi gangguan terbesar dalam film ini, yakni adanya “flare” di sepanjang film. Tak jadi soal kalau ini memang ada fungsi pentingnya. Tetapi kalau sekadar untuk penyedap visual tanpa sama sekali mendukung konsep fiksi ilmiahnya, ya buat apa harus ada?

Hingga Till Death Do Us Part selesai, lebih baik menikmati drama roman antara Vanesha dan Arya dalam segmen flashback, daripada aksi penodongan senjata api dalam segmen masa kininya. Dalam segmen kilas balik, tek-tok dialog antara kedua tokoh utama tersebut mengalir lancar selayaknya pasangan kekasih pada umumnya, dengan topik yang meski acak, nyaman untuk dinikmati. Topik-topik yang menyinggung keragaman film, mengkritik genre sci-fi, hingga mempersoalkan teori-teori sains serta isu lingkungan. Tampaknya sang sineas, belakangan ini, memang punya ketertarikan bereksperimen terhadap gaya-gaya filmnya (setelah menerapkan time loop untuk Sabar Ini Ujian).

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSurga yang Tak Dirindukan 3
Artikel BerikutnyaThe Ice Road
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.