Turning Red (2022)
100 min|Animation, Adventure, Comedy|11 Mar 2022
7.0Rating: 7.0 / 10 from 159,850 usersMetascore: 83
A thirteen-year-old girl named Mei is torn between staying her mother's dutiful daughter and the changes of adolescence. And as if the challenges were not enough, whenever she gets overly excited Mei transforms into a giant red pa...

Studio Pixar kembali menyajikan satu kisah unik yang mengembalikan posisinya sebagai pencetak film-film animasi berkualitas tinggi. Turning Red adalah garapan sineas Tiongkok – Kanada, Domee Shi yang terlibat dalam beberapa produksi film Pixar sebelumnya. Ia pernah meraih Piala Oscar melalui film animasinya pendeknya, Bao, dan tercatat sebagai sineas perempuan pertama yang menggarap film animasi produksi Pixar.

Meilin Lee atau “Mei-mei” (Rosalie Chiang) adalah gadis remaja 13 tahun keturunan Tiongkok yang turun temurun tinggal bersama keluarganya di Ontario, Kanada. Mei membantu keluarganya merawat kuil tertua di kotanya yang sekaligus menjadi obyek wisata di Pecinan. Mei kini di tengah masa pubernya yang menggebu berseberangan dengan sang ibu, Ming (Sandra Oh) yang disiplin dan keras. Pelampiasan Mei adalah bersama tiga sahabat sekolahnya yang tingkah mereka tak jauh dari remaja milenial masa kini. Satu polah Mei, akhirnya membawa ibunya marah dan ia pun merasa dipermalukan di depan rekan-rekan sekolahnya. Pagi harinya, tanpa disadari, Mei berubah menjadi seekor panda merah raksasa.

Bisa saya bilang, kisah film ini adalah salah satu yang terbaik di antara film-film Pixar lainnya. Kisahnya ringan dan sederhana, menghibur, amat membumi, hangat dan di atas segalanya memiliki pesan dan makna yang teramat dalam. Terasa sekali jika kisahnya begitu personal bagi sang sineas yang juga turut menulis naskahnya. Film animasi Irlandia, Wolfwalkers (2020) memiliki kisah serupa mengedepankan mitos dan tradisi lokal kuat, namun konsep cerita Turning Red dan kemasannya jauh berbeda dan lebih kekinian. Sosok panda merah, yang juga simbol emosi Mei, adalah satu konsep brilian yang disajikan begitu efektif dan mengena dalam mengusung pesan kisahnya. Kejutan demi kejutan hingga klimaksnya yang kolosal dan menyentuh mampu memadukan tradisi dan sisi modern dengan amat manis. Turning Red adalah sebuah kisah penuh makna berlapis yang tak cukup dibahas dalam sebuah ulasan singkat.

Baca Juga  Max Payne

Dengan kisah yang ringan dan brilian, Turning Red memiliki kedalaman cerita penuh makna yang sejajar dengan film-film masterpiece studio Pixar sebelumnya. Bicara soal visual, jelas tak ada lagi yang perlu dikomentari untuk standar film studio Pixar. Visualnya plus musik dan beberapa nomor rancak mampu mendukung penuh kisahnya yang bermain-main dengan sisi kekinian dan tradisi lokal.  Semuanya sempurna. Turning Red adalah bukan film semata untuk remaja tapi justru adalah film yang ditujukan untuk orang tua. Orang tua yang kolot bakal terasa tertampar dengan film ini. Dunia sudah berubah, orang juga sudah berubah, tiap generasi memiliki perspektifnya sendiri dalam memandang kehidupan. Turning Red mengingatkan kita untuk selalu beradaptasi dengan jaman tanpa melupakan akar tradisi yang kita miliki. What a film. Tahun depan, Piala Oscar kategori film animasi panjang terbaik sudah dalam genggaman.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe Adam Project
Artikel BerikutnyaAmbulance
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.