Setelah jarang terlihat usai sukses mengarahkan Night Bus dengan thriller aksi kriminalnya, Emil Heradi hadir kembali melalui Wedding Proposal. Setelah mengantongi banyak piala dari FFI empat tahun lalu, kini ia muncul dengan kisah komedi romantis. Bersama Tisa T.S. dan Sukdev Singh, duo penulis yang sering terlibat dalam satu proyek. Film produksi Screenmedia Films dan MD Pictures ini telah lama tayang di Disney+ Hotstar sejak Mei lalu. Para pemerannya antara lain Dimas Anggara, Arya Saloka, Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Sheryl Sheinafia, dan Tania Ayu Siregar. Usai terbilang kurang berhasil melalui Di Bawah Umur, akankah kali ini bisa lebih baik?
Bisma (Dimas Anggara) merupakan seorang fotografer professional. Ia terus dipaksa agar segera menikah di usianya yang sudah hampir menginjak kepala tiga oleh ayahnya (Slamet Rahardjo). Seiring menjalani hari-hari dengan tekanan tersebut, Bisma bekerja sembari mencari jodohnya bersama rekannya, Ito (Arya Saloka). Hingga suatu ketika tanpa disangka terjadilah pertemuan dengan Sissy (Sheryl Sheinafia). Meski mulanya terdapat konflik di antara mereka, keduanya kian didekatkan oleh beberapa situasi. Namun, kehadiran Jeng Sari (Tania Ayu Siregar) rupanya mendatangkan masalah bersama perempuan yang dibawanya.
Wedding Proposal kembali menghadirkan stereotip film roman komedi melalui setting Bali-nya. Menjadikannya hampir sama saja seperti #MoveOnAja, atau bahkan sinema-sinema televisi berlatar Bali. Merasa bahwa “hanya” dengan mengandalkan setting Bali, maka seluruh masalah terkait penceritaan dan teknisnya sudah teratasi. Bila timbul problem di sana, maka tinggal menonjolkan sisi komedi, adegan-adegan romantis, dan lanskap khas dari setting-nya. Tentu saja itu salah besar! Ada faktor eksplorasi kebudayaan lokal setempat dan pengolahan sinematik yang baik di sana. Juga kebijaksanaan untuk meletakkan dialog pada adegan yang tepat. Tidak lantas dialog ini dimasukkan nyaris ke seluruh adegan. Meski kemasannya memang komedi romantis, tetapi bukan berarti menyepelekan aspek-aspek filmis lainnya. Penyakit bawaan genre ini –yang tampaknya sukar sekali disembuhkan.
Kendati demikian, Dimas dan Arya sendiri rupanya mampu membentuk duo komedi yang baik, melalui peran mereka sebagai Bisma dan Ito dalam film ini. Terlebih Arya dengan rekam jejak yang masih separuh dari Dimas, ternyata mampu bermain imbang sebagai pendukungnya. Boleh jadi ia punya potensi. Ada pula duet aktor dan aktris kawakan seperti Slamet Rahardjo dan Dewi Irawan yang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya di segala genre, dengan karakteristik khas mereka sebagai orang tua. Tidak ketinggalan pula penampilan singkat Rifnu Wikana yang biasa tampil sebagai sosok senior, superior, atau galak, namun diposisikan menjadi tokoh yang tak berdaya dalam Wedding Proposal. Nilai lucu darinya yang hendak diberikan oleh Wedding Proposal ialah kontras antara karakteristik muka dan perannya. Meskipun, ia muncul hanya dalam sejumlah adegan pendek.
Tidak banyak elemen yang mengesankan dari Wedding Proposal ini kecuali unsur komedi dan momen dialog sarat wejangannya. Hasilnya nyaris tidaklah jauh berbeda dibandingkan dengan kebanyakan film komedi romantis berlatar Bali lainnya. Senyampang terdapat dua kelebihan tadi, sehingga Wedding Proposal “minimal” sudah bisa menghibur. Tampaknya format klise komedi romantis memang sejalan dengan yang terjadi pada genre horor, mudah sekali menjamur. Parahnya, bahkan tanpa tendensi untuk menawarkan gebrakan dari aspek filmis lain. Entah bagaimana juga, sudah kali kedua ini kualitas karya arahan Emil menurun drastis, ketimbang pencapaian besarnya dengan Night Bus dulu. Faktor produser dan penulis yang mampu memengaruhi naik-turunnya kualitas penyutradaraan? Bisa jadi.