What If…? merupakan seri termutakhir dari rangkaian seri Marvel Sinematik Universe (MCU) yang di awali sejak awal tahun ini, yakni WandaVision, The Falcon and the Winter Soldier, serta Loki. Seri What If…? ini tidak seperti sebelumnya, yakni menggunakan konsep animasi dengan serangkaian kisah yang bisa dibilang lebih absurd dari sebelumnya. Seri yang bertotal sembilan episode (bagian dari fase keempat MCU) ini diarahkan oleh Bryan Andrews dengan masih diisi vokal oleh para pemeran aslinya, sebut saja Bennedict Cumberbacth, Chadwick Boseman (alm), Hayley Altwell, Samuel L. Jackson, Mark Ruffalo, Tom Hiddlestone, Chris Hemsworth, Michael B. Jordan, Josh Brolin, serta puluhan lainnya. Kisahnya juga memperkenalkan tokoh baru, The Watcher yang diisi suaranya oleh Jeffrey Wright. So, bagaimana What If…?, apakah konsep naskah MCU mulai mengendur? Jauh dari itu, semesta sinematiknya ternyata baru mulai memanas, setelah Loki membuka satu pintu kisahnya begitu brilian.

Kunci dari plot What If…?, pertama adalah multiverse, yang merupakan konsep utama cerita dalam Loki. Tidak menonton dan belum memahami Loki, tak akan bisa memahami konsep cerita What If?…?. Tak paham konsep multiverse, sulit untuk bisa memahami What If…? karena pasti yang menonton akan menganggap kisahnya terlalu absurd dan berlebihan. Kedua, tentunya adalah rangkaian kisah MCU sendiri, sejak Iron Man (2008) hingga Avengers: Endgame (2019) karena plot What If…? begitu detil mengambil momen nyaris di semua kisahnya. Bagaimana kita bisa paham kisah alternatifnya, jika kita tidak tahu kisah aslinya? Poinnya, kelemahan seri ini (juga MCU) adalah penonton harus memahami semua kisah MCU sebelum ini, termasuk serinya, khususnya Loki.  Ini memang terlalu kompleks bagi penonton awam tapi tentu tidak para penikmat MCU.

What If…? merupakan serangkaian episode yang berkisah apa yang terjadi jika kejadian berjalan tidak seperti dalam kisah aslinya. Misal saja, apa yang terjadi jika Steve Rodgers tidak diinjeksi serum Dr.Erskin melainkan Peggy Carter, sehingga sosok Captain America tidak eksis, namun adalah Captain Carter. Lalu apa yang terjadi pada Dr. Stephen Strange jika saat kecelakaan mobil ia tidak kehilangan tangannya, namun adalah pujaan hatinya, Christine. Apa yang terjadi jika bukan Peter Quills yang diculik oleh Yondu, melainkan T’Chala di Wakanda. Kisah alternatif inilah yang merupakan bagian dari multiverse yang jumlahnya tak terhingga. Terlalu absurd? Tidak sama sekali. Uniknya, serangkaian episode terpisah ini ternyata saling bertautan yang dilekat oleh satu sosok “penjaga” multiverse, The Watcher. Sosok ini hanya menjadi penonton dan konon tak boleh ikut campur tangan, namun tidak kali ini. Satu kelokan besar di luar dugaan terjadi dalam multiverse di satu momen waktu, dan nasib multiverse ditentukan oleh serangkaian individu dalam tiap episodenya. Ini yang amat menarik.

Baca Juga  Madagascar 2: Escape 2 Africa

Tak ada bocoran plot di sini. Hanya saja, apa yang terjadi dalam tiap episodenya adalah satu rangkaian plot yang berbeda tone, sisi drama, komedi, horor, hingga misteri. Melalui narasi The Watcher, sang tokoh menjelaskan secara rinci tiap momen dan mengapa segalanya berbeda dengan alur plot MCU yang kita tahu. Absurd? Tentu saja, namun secara konsep cerita, What If…? mampu memaparkannya secara gamblang. Bisa saja ada yang menggangap ini terlalu berlebihan, namun bagi saya ini adalah brilian. Naskahnya mampu mengembangkan plotnya tanpa sama sekali terlihat memaksa. Jika konsep cerita Loki tidak absurd bagimu, tentu mudah menerima ini.

Bicara tiap episodenya, memang tak semuanya istimewa. Tiap orang bisa jadi memiliki favoritnya. Namun, di antara semuanya, tercatat satu episode yang saya anggap kisahnya adalah yang terbaik di serinya, bahkan MCU, yakni episode 4, What if…Doctor Strange Lost His Heart Instead of His Hands. Kisah ini, bagi saya adalah plot MCU yang paling gelap dan dalam, dengan mampu memadukan konsep eksistensialisme secara brilian. Sosok Dr. Strange adalah protagonis sekaligus antagonis yang sempurna untuk menggunakan kisah ini karena ia mampu bermain-main dengan waktu menggunakan artefak The Eye of Agamotto. Kisahnya memberi satu pelajaran berharga bagaimana takdir tak bisa di ubah dan memberi satu konsekuensi yang tak terkira. Konsep cerita ini jauh melewati plot kisah manapun dalam MCU, baik plot serta estetik. Tanpa diduga pula, episode ini ternyata bertautan dengan kisah lainnya menjelang penghujung dengan satu episode klimaks yang hingar bingar dan luar biasa heboh. Dijamin, para penikmatnya belum pernah melihat yang seperti ini.

Seri What If dengan brilian mengeksplorasi lebih jauh konsep multiverse dengan serangkaian kisah lebih gelap dan kelam, yang beberapa seri di antaranya bisa dikatakan yang terbaik untuk semesta sinematiknya. Seperti sudah sering saya katakan sebelumnya, MCU memiliki pondasi cerita yang teramat kuat sehingga ke mana pun arah kisahnya bisa berkelok dengan mudah. Konsep multiverse jelas adalah satu konsep yang absurd dan perlu kehati-hatian yang teramat sangat dalam penggunaannya. Sejak Loki, MCU telah masuk ke dalam satu ranah baru yang tak terhingga pengembangannya. Akankah MCU semakin naik ke atas ataukah tergelincir? Only time will tell.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaAum!
Artikel BerikutnyaHompimpa
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Meskipun medianya berupa animasi (berbeda dari semua film dan serial MCU lainnya), namun kisah untuk menghadirkan konsep multi-semesta dalam dunia MCU memang sangat brilian. Namun rumor yang berkembang selama ini mengenai film Spider-Man: No Way Home yang dengan konsep multiverse pula, akan menggabungkan semesta trilogi film Spider-Man besutan Sam Raimi dan dwilogi film The Amazing Spider-Man garapan Marc Webb. Hal ini menimbulkan “harap-harap cemas” sebab kejeniusan Marvel Studios membangun MCU selama 13 tahun ini adalah meracik kisah dunianya sendiri. Jika nanti (No Way Home) “mengambil” dunia yang bukan ciptaan Marvel Studios, takutnya kisah multiverse Marvel Studios tak ubahnya dengan pesaing terberat mereka yang sudah menggunakan cara ini, tak lain tak bukan adalah dunia multiverse DC dengan Arrowverse dan film solo The Flash nanti.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.