Bagaimana jika seorang gadis belia harus tinggal bersama satu keluarga kriminal? Premis yang menarik ini, coba dikemas dengan gaya penyutradaraan yang unik pula. Wildland adalah film produksi Denmark arahan Jeanette Nordahl yang banyak diapresiasi festival film. Film ini dibintangi oleh Sandra Guldberg Kammp, Sidse Babett Knudsen, Joachim Fjelstrup, serta Carla Philip Roder. Lantas bagaimana sang sineas mengemas kisah filmnya?
Ida kehilangan ibunya dalam satu kecelakaan mobil. Karena umurnya yang masih belia, ia akhirnya dititipkan di rumah bibinya, Bodil. Bodil memiliki tiga orang putra yang masing-masing memiliki karakter unik. Satu hal kesamaan mereka adalah kriminal. Satu keluarga ini rupanya adalah semacam rentenir yang tak segan menyakiti korbannya jika tak mampu membayar. Suatu ketika, secara tak sengaja, seseorang terbunuh dalam aksi mereka. Ida mengalami dilema hebat untuk memilih antara kebenaran atau keluarganya, karena ia adalah satu-satunya saksi yang dimiliki polisi.
Jika berharap ini adalah film yang mudah, kalian keliru besar. Dari opening, film ini sudah memiliki cara bertutur dan sudut pandang yang menarik dalam penceritaannya. Kita memang dipaksa berpikir karena nyaris semua pengadeganannya disajikan dengan gaya sunyi dan lambat. Saya memang suka dengan gaya seperti ini, tapi apakah mampu memberikan sense penceritaan yang koheren, ini adalah lain perkara.
Kita memang harus bersabar untuk mendapatkan informasi demi informasi karena tempo yang lambatnya minta ampun. Adegan demi adegan nyaris lepas, bahkan kadang meloncat ke satu hal yang tak ada hubungan dengan sebelumnya. Sosok Ida yang banyak diam juga tidak membantu penonton. Bahkan sosok ini kadang begitu sulit diantisipasi karena sikapnya yang bisa berubah mendadak. Merasa bosan? Jelas. Kesal? Ya. Penasaran? Tentu saja ya. Saya menanti dengan sabar karena berharap ada sesuatu di ujung sana. Rupanya ini adalah penantian yang boleh saya bilang, sia-sia. Bisa jadi saya melewatkan sesuatu, namun saya tak mendapatkan apa pun yang menggugah hingga akhir. Nothing.
Sunyi, lambat, dan absurd, Wildland memiliki premis menarik yang kehilangan arah dalam menyampaikan pesannya. Kita semua tahu, film ini ingin berbicara tentang hidup dengan segala pesimismenya, dan di atas segalanya adalah keluarga. Namun, crime doesn’t pay. Tangisan bayi yang begitu pilu di pungkas adegan, seolah ingin menolak dilahirkan, melihat realita hidup. Ya mau apa lagi, realita hidup memang sucks, so? Bisa jadi ini perspektif personal pembuatnya, tak ada yang salah dengan ini. Seumpama ending memperlihatkan Ida menggendong sang bayi, memang belum tentu lebih baik, tapi setidaknya ada bunga yang begitu indah di tengah genangan lumpur yang kotor.