Produksi film dengan pendekatan setting minimalis sepertinya kini tengah tren. Bisa jadi faktor pandemi adalah penyebabnya. Mencoba pendekatan yang sama, Rising Wolf  secara segar memadukannya dengan unsur thriller dan fantasi. Rising Wolf atau Ascendant adalah film thriller fantasi produksi Australia arahan Antaine Furlong. Film ini dibintangi aktor-aktris lokal, Charlotte Best, Susan Prior, Goerge Burgess, serta Jonny Pasvolsky.

Aria Wolf (Best) terbangun dan melihat dirinya terperangkap di sebuah elevator gedung berlantai 160 di Shanghai, China. Tak ada jalan keluar, bahkan elevator pun bisa begitu saja terhempas jatuh dan terhenti, seolah ada yang mengontrol. Layar yang ada di dinding elevator mendadak hidup memperlihatkan Richard, sang ayah, yang tengah disekap dalam sebuah ruangan. Ayahnya yang ternyata adalah seorang agen, tengah diinterogasi paksa untuk menyerahkan sebuah informasi rahasia. Sang putri pun menjadi tumbalnya.

Premisnya harus diakui memang menarik dan sejak pembuka terus memancing rasa penasaran. Informasi, sedikit demi sedikit semakin terkuak, disisipi kilas-balik absurd yang kadang membingungkan. Ada dua orang gadis (Aria kecil dan adiknya) terlihat mampu mengurai materi dan lalu membuatnya utuh kembali. Ini apa maksudnya? Penjelasan minim semakin membuat rasa penasaran bertambah. Kilas-balik antara masa lalu dan, penyiksaan sang ayah, usaha Aria untuk keluar dari elevator, secara bergantian disajikan. Lantas relasinya apa? Sebagai penonton kita mengharap penjelasan yang memuaskan antara dua segmen tersebut tapi nyatanya tidak.

Satu hal yang menjadi pertanyaan mengganjal sejak awal adalah mengapa Aria ada di dalam elevator? Sekarang coba kita kesampingkan sisi fantasi filmnnya, kita bicara soal kriminal dulu. Sang ayah disiksa begitu rupa oleh sekelompok orang (Rusia) untuk memberikan informasi rahasia tentang keberadaan seseorang. Sang insinyur begitu katanya. Lalu, mengapa harus repot-repot menyekap Aria di elevator? Cukup siksa saja Aria dihadapan Richard langsung, dijamin sang ayah akan buka mulut, cukupkan? Murah dan efektif!  Pada akhirnya, kita memang tahu mengapa, tentu saja karena sisi fantasi yang akan menjadi kejutan kelak. Tetapi skenario elevator jelas terlalu memaksa. Lalu, maaf ini rada berbau spoiler, mengapa pula akhirnya sang bos justru dilepas? Lantas satu lagi, jika sejak awal sang ayah tahu kemampuan putrinya, mengapa tidak sejak awal ia lakukan?  Ini sungguh konyol.

Baca Juga  Lady Chatterley’s Lover

Rising Wolf memiliki genre, premis, kisah, dan pendekatan setting unik, hanya saja plotnya terlalu memaksa dan tak mampu menggambarkan dengan jelas motif latar kisahnya. Ya, kita tahu persis, sebenarnya mau ke mana arah filmnya tapi dengan plot yang tak masuk akal macam ini, semuanya sia-sia. Tanpa harus ada sisi fantasi sekalipun, plotnya sebenarnya cukup untuk membuat sebuah thriller berkelas. Sang pembuat film sepertinya berambisi membuat kisahnya berbeda, namun tak mampu mengolah naskahnya dengan terampil. Pesan dan misi lingkungan tentang ulah umat manusia menjadi terlalu berlebihan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaPig
Artikel BerikutnyaBlood Red Sky
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.