Roma (2018)
135 min|Drama|14 Dec 2018
7.7Rating: 7.7 / 10 from 173,699 usersMetascore: 96
A year in the life of a middle-class family's maid in Mexico City in the early 1970s.

Roma adalah sebuah film drama semi autobiografi produksi Netflix yang diarahkan, diproduseri, dan ditulis oleh Alfonso Cuaron. Seperti kita telah kita ketahui, Cuaron adalah salah satu sineas berpengaruh yang telah menghasilkan karya-karya besar, macam Y Tu Mama Tambien, Children of Men, serta Gravity. Ia tercatat pula sebagai sineas asal Meksiko pertama yang meraih piala Oscar untuk Sutradara Terbaik. Roma, kembali membawanya ke negara asalnya yang diproduksi menggunakan bahasa ibunya. Film berdurasi 135 menit ini telah meraih banyak penghargaan, dan baru saja meraih dua penghargaan untuk ketegori Film Berbahasa Asing Terbaik dan Sutradara Terbaik dalam ajang Golden Globe. Piala Oscar? Rasanya film ini tak bakal punya lawan yang sebanding.

Cleo adalah seorang pembantu rumah tangga sebuah keluarga menengah di kota kecil Colonia Roma yang bertetangga dengan kota Meksiko. Inti plotnya berkisah tentang keseharian dan pasang surut kehidupan Cleo dan majikannya, Sofia dengan empat putra putrinya, yang masing-masing ditinggal oleh pasangan mereka. Suatu ketika, tanpa ia duga, Cleo yang tengah hamil tua menjadi saksi mata sebuah peristiwa besar bagi bangsanya ketika sekelompok paramiliter membantai para mahasiswa demonstran yang dikenal sebagai peristiwa The Corpus Christi Massacre. Di momen yang sama, Cleo pun mengalami peristiwa paling mengenaskan dalam hidupnya.

Lebih dari satu jam durasinya, alur kisahnya berjalan nyaris tanpa konflik. Plot awal filmnya hanya menyajikan secara detail keseharian Cleo sebagai pembantu, yakni membersihkan lantai, memasak, mencuci pakaian, menidurkan putra-putri majikannya, mematikan lampu rumah, hingga membersihkan kotoran anjing. Semuanya disajikan sangat rinci dengan tempo yang relatif lambat. Adapun “konflik” kecil bermula ketika Cleo mulai sadar bahwa dirinya tengah hamil, dan setelah ini pun kisahnya masih berjalan datar, tidak hingga segmen akhir yang penuh dengan momen-momen menggetarkan. Di balik kisah dan bahasa visualnya yang sederhana ternyata tersimpan sebuah kisah besar yang merefleksikan masalah krusial bagi rakyat Meksiko,

Baca Juga  The Accountant 2 | REVIEW

Melihat Roma, seakan melihat kombinasi film-film terbaik karya Frederico Fellini, Neorealisme Italia, hingga French New Wave. Cuaron melangkah lebih jauh, dengan memasukkan gaya dan passion-nya untuk menjadikan Roma sebagai karya mahakaryanya yang paling personal. Konon, sang sutradara pula yang mengedit dan mengambil semua gambar filmnya. Cuaron menggunakan simbol-simbol sederhana layaknya sang maestro, Fellini, yang secara brilian ia sisipkan dalam komposisi visualnya. Roma bagaikan sebuah text book bahasa visual yang sempurna berkombinasi dengan sisi naratifnya yang sederhana dan realistik. Penggunaan teknik long take, panning, tracking, hingga shot statisnya, secara sempurna menggerakkan naratifnya yang lambat, namun penuh makna.

Kualitas visual yang begitu indah, didukung pula oleh para pemainnya yang semuanya bermain tanpa cacat bahkan hingga seekor anjing sekali pun. Sang bintang dalam film ini adalah Yalitza Aparicio yang konon adalah pemain amatir yang tidak memiliki pengalaman akting sama sekali. Hebatnya, Yalitza mampu bermain sangat sempurna sebagai sang pembantu, Cleo, yang melalui sudut pandangnya, kita dibawakan semua kisah drama yang begitu menyentuh. Ekspresi wajahnya yang amat natural mampu menyajikan semua apa yang ia ingin sampaikan tanpa ia harus berbicara. Tak ada keraguan, sang bintang pendatang baru ini teramat layak mendapat penghargaan paling bergensi di muka bumi ini. Sang ibu, Sofia (Marina de Tavira) bersama seluruh putra-putrinya bermain sangat natural yang mampu membuat kita seolah tidak layaknya menonton sebuah film fiksi. Teramat langka sebuah film memiliki pencapaian setinggi ini.

Dengan kedalaman tema dan keindahan visualnya, Roma tak hanya merupakan karya terbaik Alfonso Cuaron, namun juga salah satu film terbaik yang pernah diproduksi. Boleh jadi Roma adalah karya paling personal dari sang sineas yang merepresentasikan nasib rakyat negaranya. Terombang-ambing dengan masalah politik dan ekonomi yang membuat mayoritas rakyatnya hidup penuh tekanan. Segmen akhir yang brilian, seolah sang sutradara ingin mengajak seluruh saudara sebangsanya untuk selalu bersatu karena kebebasan dan kedamaian yang diimpikan masih teramat jauh (shot akhir). Peace peace peace.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaUnstoppable
Artikel BerikutnyaSwing Kids
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses