Roy Kiyoshi: The Untold Story (2019)
86 min|Horror|21 Mar 2019
1.9Rating: 1.9 / 10 from 86 usersMetascore: N/A
Roy Kiyoshi, who has the ability to interact with supernatural beings, is very frustrated when his sister is kidnapped by the demon.

Roy Kiyoshi: The Untold Story adalah sebuah film horor yang diarahkan sutradara kondang, Jose Poernomo bersama rumah produksi MVP Pictures. Seperti kita tahu, sineas kita kenal sebagai pelopor film horor modern bersama rekannya Rizal Mantovani, yang kala itu memproduksi Jelangkung (2001), yang menjadi film horor fenomenal pada masanya. Selama ini, Jose konsisten memproduksi film horor laris diantaranya, Pulau Hantu (2007), Rumah Kentang (2012), Jailangkung (2017), Alas Pati (2018), serta Silam (2018). Sang sineas juga kita kenal menulis sebagai penulis naskah sekaligus penata kamera dalam film-film garapannya. Baru lalu, ia juga memproduksi film horor berjudul Reva Guna-Guna, namun sayangnya tak begitu laris karena waktu rilisnya bertepatan dengan film-film raksasa box-office, yakni Dilan 1991 dan Captain Marvel.

Film ini bercerita tentang Roy (Roy Kiyoshi) yang dikisahkan memiliki kemampuan supernatural. Setelah adiknya diculik oleh makhluk halus yang bernama Banaspati, Roy pun mengurung diri di sebuah pulau di Pantai Mandalika. Pada saat bersamaan, diceritakan pula Sheila (Angel Karamoy), seorang gadis muda yang bekerja di LSM khusus pengaduan anak hilang. Ia kini tengah menyelidiki beberapa kasus anak hilang yang tampak janggal dan misterius.

Kisah Roy Kiyoshi terinspirasi dari kisah kejadian nyata. Sang tokoh, kita kenal sebagai seorang yang memiliki kelebihan untuk melihat hal gaib. Namanya mulai populer melalui acara stasiun ANTV bertajuk “Karma”. Cerita filmnya mengambil latar kisah sebelum ia menjadi sebuah host acara televisi tersebut, yakni tahun 1990-an akhir. Uniknya lagi, film ini diperankan sendiri oleh tokoh aslinya, Roy Kiyoshi.

Baca Juga  Saranjana: Kota Ghaib

Alur ceritanya sendiri terbilang fokus dan bertempo lambat. Sejak awal, adegan-adegannya pun tak terburu dan bergantian antara adegan Roy di Pantai Mandalika dengan investigasi Sheila. Walau adegan investigasi terbilang menarik dan tak menekankan sisi horor semata, namun alur penyelidikan cenderung datar dan tidak mampu memberikan rasa penasaran kepada penonton.

Lagi-lagi latar penokohan menjadi masalah. Siapa sosok Sheila sebenarnya hingga akhirnya ia berperan sejauh ini serta pula membahayakan dirinya. Lemahnya background ini membuat kita kurang bisa masuk dalam karakter Sheila. Di awal, Sheila berkata jika motivasi ikut LSM tersebut adalah karena dulu ada saudaranya hilang, namun pengembangan cerita tak pernah mengarah ke sini. Plot pun mulai berjalan cepat ketika Sheila akhirnya menemukan Roy tetapi adegan-adegannya kurang bisa kita nikmati karena tak ada chemistry sama sekali. Prosesnya terasa sekali terlalu cepat dan dipaksakan. Bagaimana bisa Sheila memaksa Roy begitu saja untuk menolongnya padahal mereka baru saja bertemu, seolah sudah saling mengenal sebelumnya. Walau sosok protagonis sudah dikenal luas, namun lemahnya latar penokohan juga membuat kita kurang masuk ke dalam sosok Roy.

Tone filmnya yang kelam dan suram sudah cukup baik mendukung suasana filmnya. Pada opening credit di awal film, shot high angle serta kombinasi pergerakan kamera untuk menggambarkan suasana kota juga telah mampu memberikan kesan mencekam. Sayangnya shot bagus seperti ini tak banyak dalam filmnya. Salah satu keunikan film ini juga didominasi suara batin Roy untuk menyampaikan isi hatinya sebagai seseorang yang memiliki kemampuan supernatural. Terlepas dari sisi teknis yang terbilang mapan, namun sayang kisahnya tak mampu diolah dengan baik.

 

 

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaPohon Terkenal
Artikel BerikutnyaMembaca Buku-Buku Montase Press
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.