Satu lagi film bertema fantasi thriller yang kali ini dikemas dalam kisah unik. Run Sweetheart Run adalah film arahan Shana Feste yang dirilis minggu ini oleh platform streaming Amazon Prime. Film berdurasi 104 menit ini dibintangi Ella Balinska, Pilou Asbæk, dan Clark Glegg. Film ini sebenarnya juga sudah diputar dua tahun lalu di ajang Sundance Film Festival 2020. Lantas apa keunikan film ini?
Cherie (Balinska) adalah seorang ibu muda yang bekerja di suatu firma hukum di LA. Ketika sang bos, James (Glegg), menyuruhnya untuk menemami seorang klien besar, ia tak kuasa menolaknya. Sang klien ternyata adalah seorang pria muda menarik bernama Ethan. Cherie pun tak kuasa manahan daya tariknya, namun sebelum kencan berlanjut lebih intim, sesuatu pun terjadi. Cherie melarikan diri dari rumah Ethan dengan bercak darah di tubuhnya. Sang pria rupanya adalah seorang “monster” brutal yang berniat memburu Cherie ke seluruh penjuru kota, dan membunuh siapa pun yang menghalangi jalannya.
Film ini memiliki premis menarik dengan sisi misteri yang terus mengusik rasa penasaran sepanjang film. Siapa sebenarnya pria brutal misterius tersebut dan apa motifnya? Jika menjawab ini, jelas adalah sebuah spoiler besar. Satu hal yang ditekankan dalam plotnya adalah proses perburuan atau “cat and mouse” antara Ethan dan Cherie. Tidak hanya ketegangan semata yang kita dapat, namun rasa makin penasaran. Intensitas ketegangan makin lama makin menjadi sejalan dengan identitas Ethan yang perlahan mulai terkuak. Bahkan ketika Ethan menunjukkan jati dirinya, kamera pun tidak memperlihatkannya. Semakin lama menunda informasi ini, justru membuat kisahnya semakin menggelitik untuk diikuti. Plotnya memang rada mirip film horor House of Darkness yang rilis belum lama ini.
Run Sweetheart Run, memadukan genre thriller dan fantasi dengan apik, serta menyelipkan pesan personal bagi kaum hawa. Bicara soal pesan, sepertinya memang agak sedikit “nyeleneh”. Sejak awal kisah, satu hal yang menjadi masalah besar bagi Cherie adalah ia kehabisan pembalut ketika siklus bulanan menghampirinya. Rasanya, situasi ini punya relasi erat dengan plot utamanya, yang bisa kita baca sebagai subteks. Filmnya memang menyinggung dominasi kaum pria dan pelecehan terhadap perempuan. Bisa jadi pula, sang monster adalah inner mind perempuan yang emosional serta mood swing jika tengah datang bulan. Ini mungkin menjawab ketika kamera berhenti dan di-stop oleh sang monster untuk bisa masuk ke dalam rumah (pelanggaran tembok keempat). Entah benar apa tidak, perempuan pasti lebih memahami ini. Satu hal yang pasti, plotnya yang menegangkan sudah lebih dari cukup menghibur penonton, khususnya penikmat genrenya.