Sabrina merupakan film horor besutan sutradara Rocky Soraya. Film ini sendiri merupakan sekuel dari film The Doll 2 (2017) yang juga disutradarai oleh Rocky serta sukses komersial mendapatkan 1.226.864 penonton. Tampaknya, Sabrina juga akan mengekor kesuksesan The Doll 2, terbukti dengan perolehan penonton sekitar 104.105 pada saat premier-nya. Sang sineas memang kita kenal telah memproduksi film horor laris, seperti The Doll (2016), Mata Batin (2017), serta The Doll 2 (2017). Selain menjadi sutradara Rocky juga memproduseri sendiri film-filmnya, dan terbukti berhasil membawa film besutannya laris di pasaran. Aktris Luna Maya & Sara Wijayanto yang berperan dalam The Doll 2 juga terlibat lagi di film ini.
Kisahnya sendiri merupakan kelanjutan dari The Doll 2. Di awal film, Maira (Luna Maya) dikisahkan menikah dengan Aiden (Christian Sugiyono). Mereka memiliki anak angkat bernama Vanya (Richelle Georgette Skornicki) yang juga keponakan dari Aiden. Aiden memiliki pabrik pembuatan boneka Sabrina. Aiden membuatkan boneka khusus untuk Sabrina sebagai hadiah untuk Maira. Vanya yang masih murid SD, selalu merindukan mamanya yang telah tiada. Di sekolahnya, ada seorang teman yang meminjaminya kotak pensil Charlie yang mampu membuatnya berkomunikasi dengan arwah mamanya. Namun, setelah menggunakannya, banyak kejadian aneh di rumahnya, termasuk keanehan pada boneka Sabrina.
Beberapa aspek, seperti plot, konflik cerita, karakter, bahkan pengadeganannya terlihat mengulangi film The Doll 2, hanya dikemas dengan setting yang berbeda. Opening scene, pemanggilan arwah, liburan, pemanggilan orang pintar, plot twist polanya sama, bahkan adegan klimaks yang sadis dan brutal pun juga diulang. Sah-sah saja memang sang sineas mengemasnya dengan pola demikian, namun dinilai dari sisi kebaruan, tampaknya tak ada lagi sesuatu yang menarik untuk ditawarkan lagi dalam sekuelnya ini. Film ini tampaknya telah kehabisan cerita atau mungkin sang sineas tak mau mengeksplor lebih jauh lagi.
Lanjutan kisah sosok Maira, tampak sangat dipaksakan. Peran Maira kali ini seolah lepas dari alur cerita serinya, padahal ia menjadi peran kunci di film sebelumnya. Bagi penonton yang belum menonton The Doll 2 mungkin tak ada masalah. Namun, bagi yang mengikuti seri ini tentu menjadi masalah. Setidaknya ada dua kejanggalan yang mengundang pertanyaan besar dan berdampak fatal. Pertama, dimanakah suami Maira yang bernama Aldo di kisah The Doll 2? Bukankah ending The Doll 2, hubungan Maira dan Aldo membaik, pasca kejadian mengerikan itu? Bukankah pula Maira yang tak menginginkan perkawinan mereka hancur, gara-gara pembantu yang sengaja merusak hubungan mereka? Tak ada penjelasan apapun di filmnya, misalkan mereka telah bercerai atau apa, tiba-tiba saja dikisahkan Maira menikah dengan orang baru bernama Aiden.
Maira juga kini seolah terlepas dari sosok boneka Sabrina. Setelah peristiwa yang begitu dahsyat di kisah The Doll 2, setidaknya Maira memiliki trauma terhadap boneka tersebut. Mengapa ketika menerima boneka tersebut dari sang suami terlihat wajar saja? Apalagi setelah bonekanya menunjukkan keanehan, mengapa pula masih bersikap wajar dan tak bisa melihat keanehan yang sama akan terulang? Lagi-lagi tak ada penjelasan apapun, entah melalui dialog maupun kilas-balik. Hal yang paling menggelikan, si pembuat dari boneka Sabrina ini adalah Aiden, suaminya. Sungguh suatu kebetulan yang terlalu dipaksakan.
Selain kejanggalan besar di atas, ada keanehan kecil yang juga mengganggu dan tak kalah menggelikan yakni adanya aplikasi pendeteksi entitas (arwah) di I pad yang digunakan Vanya untuk mencari arwah mamanya. Ada-ada saja. Jika aplikasi itu benar adanya (dalam konteks cerita) pasti sudah di-download jutaan pengguna. Namun, ini toh cuma di film. Pada film horor barat sekalipun, mereka menggunakan alat pendeteksi yang lebih intelek, misal saja pengukur suhu ruangan atau pendeteksi gerakan atau bunyi, yang alatnya tentu tidak sederhana dan kadang butuh ritual khusus.
Sama seperti seri sebelumnya, The Doll 2 cenderung sadis dan brutal. Film ini tentu bukan untuk konsumsi anak-anak. Sungguh mengherankan mengapa sang sineas menjual adegan-adegan seperti ini lagi untuk meneror penonton. Beberapa adegan lebih terkesan seperti film aksi sehingga menurunkan tone horornya. Sebuah cerita yang tak diolah matang dan hanya berupa pengulangan yang tentu melemahkan filmnya dan kita tahu film ini hanya “imitasi” seri horor Hollywood, macam Chucky dan Annabell. Bisa jadi film ini sukses secara komersial, namun tentu saja jauh dari film horor berkualitas.
WATCH TRAILER