Salawaku (2016)

82 min|Drama|23 Feb 2017
Rating: Metascore: N/A
A roadmovie about a native Malukan boy named Salawaku and a wealthy modern metropolitan woman from Jakarta, named Saras, set out on a journey to find Salawaku's mysteriously lost sister.

Walaupun film ini merupakan debut Pritagita Arianegara namun film ini telah mampu mendapat penghargaan di ajang Apresiasi Film Indonesia 2016 serta mendapatkan beberapa nominasi di FFI 2016. Cerita ini bermula dari seorang anak yang bernama Salawaku (Elko Kastanya) yang ingin mencari kakaknya Binaiya (Raihaanun) yang lari dari dusun. Ia dan kakaknya hidup sebatang kara. Walaupun Salawaku masih duduk di sekolah dasar namun keberaniannya mendayung di lautan tak diragukan lagi. Di tengah pencariannya ia bertemu dengan seseorang bernama Saras (Karina Salim). Saras adalah gadis Jakarta yang tengah menyendiri di sebuah pulau di Maluku karena kegundahannya dengan berbagai masalah yang ia hadapi di Jakarta. Salawaku akhirnya ditemani oleh Saras pergi ke Piru untuk mencari kakaknya. Ditengah jalan mereka bertemu dengan Kawanua (JFlow Matulessy), salah satu pemuda dusun yang juga mencari Salawaku karena pergi dari dusun.

Plotnya memang fokus pada karakter Salawaku yang mencari kakaknya Binaiya ke Piru. Namun separuh film ini terasa sangat datar dan hambar karena intensitas dramatik yang dibangun kurang kuat. Kurang adanya chemistry antar tokohnya sehingga penonton hanya disuguhkan perjalanan mereka dari tempat satu ke tempat lain tanpa mendalami konflik yang ada dalam film tersebut. Kunci road movie adalah membangun momen demi momen secara intens di lokasi-lokasi yang menjadi plotnya dan rasanya film ini kurang berhasil untuk menggiring penonton untuk menikmati filmnya. Adegan janggal di awal adalah ketika Salawaku bertemu dengan Saras di tengah pulau kecil seolah mereka terlihat sudah saling mengenal satu sama lain. Logika cerita juga dipertanyakan ketika orang-orang dusun yang mencari Salawaku, tak melihat Salawaku dan Saras yang bersembunyi di bawah jalan kayu.

Baca Juga  Father & Son

Konflik muncul ketika terungkap bahwa Kawanua dan Binaiya ternyata memiliki hubungan khusus. Jika situasi isu sosial dan persoalan personal digali lebih kuat lagi maka sebenarnya konflik batin akan semakin terlihat. Adegan klimaks pertemuan Kawanua dan Binaiya menjadi salah satu proses yang harus intens disajikan. Bagaimana proses akhirnya Kawanua berani mengambil keputusan untuk tinggal bersama Binaiya dan mau menerima resiko adat menjadi penting untuk ditampilkan namun dalam film ini berlangsung begitu singkat tanpa proses yang jelas.

Hal-hal teknis seperti setting yang menyajikan pesona pemandangan indah Maluku menjadi primadona yang luar bisa di film ini. Akting Salawaku sebagai pemain cilik terbilang natural dan memiliki potensi untuk berakting lebih, apalagi dengan dialog khas Maluku yang natural pula. Musik mampu membangun tone di beberapa adegan saja yang sebenarnya masih bisa dieksplor lagi untuk menguatkan tiap adegannya serta meningkatkan chemistry para tokohnya. Film-film dengan tema lokalitas dan kearifan lokal seperti ini memang harus banyak diproduksi untuk meningkatkan potensi alam dan budaya di daerah. Namun alangkah baiknya para pembuat film kita belajar untuk mengemas keindahan alam serta lokalitas di daerah-daerah tersebut dengan naratif yang kuat pula karena untuk bersaing di ranah internasional tak sekedar persoalan lokalitas semata, namun bagaimana mengemas lokalitas itu dalam naratif dan bahasa visual yang kuat pula.
WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaA Man Called Ove
Artikel BerikutnyaLogan
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.