sampai nanti hanna

Meski bergenre drama romantis, Sampai Nanti, Hanna! memiliki tema representasi kekerasan verbal yang cukup kental. Diproduksi oleh Pic[k]lock Films bekerja sama dengan Azoo Projects dan Fortius Corporation, film ini lebih dulu tayang di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) pada 3 Desember 2024. Film ini dibintangi oleh Febby Rastanty, Juan Bione Subiantoro, Ibrahim Risyad dan Anjani Dina, serta disutradarai oleh Agung Sentausa.

Gani (Subiantoro) diam-diam mencintai Hanna (Rastanty), perempuan berprinsip kuat yang hidup tertekan di rumah dengan ibu yang sering meremehkan dan mengolok-oloknya. Sementara, Hanna ingin segera keluar dari situasi itu, meski tidak mencintai Arya (Risyad), menerima lamaran pernikahan dan tawaran kuliah di Belanda demi kebebasan. Namun, pernikahan itu justru membawanya ke hubungan toxic dengan Arya yang memperlakukannya seperti pembantu dan melakukan kekerasan verbal. Sementara Gani akhirnya menikah dengan Saras (Dina), wanita yang mengejarnya sejak kuliah. Namun, Saras tidak pernah mempercayainya karena mengetahui cintanya yang tak terbalas pada Hanna, sehingga hubungan mereka dipenuhi manipulasi dan ketidakpercayaan. Kini, baik Hanna maupun Gani harus menghadapi masalah hidup mereka masing-masing demi menemukan kebahagiaan sejati.

Premis cerita ini cukup klise. Dua sejoli yang terpisah karena takdir dan akhirnya bertemu kembali. Tapi apakah mereka bisa bersama? Yah, selain dari ceritanya yang cukup menyenangkan untuk diikuti, dengan pembawaan yang efektif dan ringan, cerita ini memiliki pesan yang cukup mendalam. Pengemasannya luwes dan alurnya maju, apalagi tidak ada eksposisi yang tidak perlu. Dari pembingkaian kamera, hingga warna, semuanya terlihat menyejukkan, dan kadang juga menyesakkan.

Akting dari pemeran-pemerannya cukup baik, dengan dialog yang sangat mulus dan tidak kaku. Semua teknis dan segalanya yang ditangkap dalam layar terlihat rapi dan direncanakan dengan baik. Yang paling patut dipuji adalah kesan realistis yang penonton dapatkan saat menonton film ini. Tidak ada satu hal pun yang berlebihan, tidak dari bagian romantis ataupun dramanya, semuanya terlihat seperti apa yang mungkin sering terjadi di dunia nyata. Terutama di bagian romantisnya, yang manis, namun juga tidak membuat penonton geli atau sampai berdebar-debar. Bagian kekerasannya pun tidak sampai membuat penonton kaget atau bergidik ngeri, lebih seperti menyaksikan sesuatu yang tidak nyaman, dan dapat pula menggugah trauma. Inilah yang dapat menjadi representasi yang sangat baik untuk isu kekerasan verbal.

Plot film ini serasa dibagi menjadi dua. Pertama adalah masa kuliah dimana mereka masih belum terikat hubungan apapun, dan kedua adalah masa setelah mereka menapaki dunia orang dewasa, menikah dan menjadi orang tua. Alurnya memang mulus, namun pada bagian pertama dikemas dengan jauh lebih baik daripada bagian kedua. Eksplorasi emosi dan sub-plot yang disajikan terlihat lebih kaya dan penuh dengan lapisan-lapisan penuh makna. Bagian kedua memang bagus, dipenuhi dengan kehidupan rumah tangga para tokoh utama, dengan Arya dan Hanna yang hidup di Belanda. Namun entah karena masalah biaya atau memang sejak awal tidak ada eksplorasi mendalam di bagian ini, plotnya menjadi tergesa-gesa.

Baca Juga  Ranah 3 Warna

Bagian kedua, dimana keduanya telah beranjak dewasa, bekerja dan menjadi orang tua terasa terpotong-potong. Adegannya penuh dengan time skip dan dipenuhi rasa frustasi. Padahal, bagian kedua mencangkup waktu bertahun-tahun, dari Hanna menikah, menyelesaikan studi lanjutan, dan bahkan punya anak hingga anaknya tumbuh cukup besar. Dibandingkan dengan bagian pertama yang mencangkup masa kuliah, seharusnya bagian kedua mendapatkan jatah durasi yang lebih banyak, atau setidaknya proporsional.

Yang disayangkan adalah, transisi Hanna antara bagian pertama dan kedua menjadi kurang mulus. Hanna telah digambarkan sejak awal sebagai karakter dengan pendapat dan prinsip kuat. Tapi kemudian di bagian kedua, dia digambarkan sebagai istri penurut yang memutuskan untuk diam selama bertahun-tahun di bawah tekanan suaminya? Jangan lupa bahwa ini adalah Hanna yang ingin segera keluar dari rumah karena kekerasan verbal dari ibunya. Memang masuk akal apabila itu adalah keadaan yang dikondisikan selama bertahun-tahun, membuat Hanna perlahan-lahan menjadi lemah setelah dimanipulasi oleh Arya. Tapi kurang ada adegan-adegan yang menggambarkan itu, dan justru berfokus pada olok-olok dan pertengkaran.

Kadang, ini adalah kelemahan dari suatu film yang sengaja menceritakan dua bagian dalam masa kehidupan tokoh. Hal ini juga terjadi di film Cinta Dalam Ikhlas dan Anak Kolong. Kedua film ini, seperti Sampai Nanti, Hanna!, juga menceritakan masa sekolah dan masa dewasa. Namun satu-satunya film yang mengemas transisi dua masa ini dengan baik hanyalah Cinta Dalam Ikhlas. Porsi plot masa dewasa dan masa sekolah seimbang dan dieksplorasi dengan sangat baik. Anak Kolong mungkin adalah contoh yang terburuk dan mengingat-ingat film ini masih membuat pengulas kesal.

Sebenarnya, jika ketika Hanna akan berpisah dengan Gani dan menikahi Arya, film ini dituntaskan dengan ending yang entah bagaimana bisa menyampaikan makna cerita dan representasinya, film ini bisa saja mendapatkan penilaian yang tinggi. Sempurna bahkan. Realistis karena hidup tidak selalu bekerja seperti apa yang diinginkan. Hingga poin itu, segalanya diceritakan dengan sangat seimbang dan dengan cerita yang menarik. Hanna adalah karakter yang kuat dan menarik, sehingga sepertinya ia akan bisa berhasil kemana pun ia pergi selama ia tidak lagi tinggal di rumah yang mengekang dan dibencinya. Tapi justru ia digambarkan lagi sebagai karakter yang tidak bisa melawan. Hasilnya, kehidupan setelah menikah terasa seperti ‘after story’ yang gagal.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaSonic the Hedgehog 3
Artikel BerikutnyaBlack Dog

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.