Film ini bercerita tentang sebuah desa yang berada di daerah terpencil bernama Dukuh Paruk pada masa 1950-1960an. Dukuh Paruk terkenal dengan ronggeng-nya, yakni sebuah kesenian berupa tarian yang muncul untuk menghormati almarhum sesepuh dukuh, Ki Secamenggala. Seorang ronggeng adalah seorang gadis terpilih tidak hanya bisa menari namun juga menarik secara fisik. Selain menari, seorang ronggeng harus mau “membuka kelambu” artinya berhubungan intim dengan laki-laki di dukuh tersebut apabila ada yang sanggup membayar. Kebanggaan bagi pria di dukuh tersebut bagi yang mampu meniduri sang ronggeng. Srintil (Prisia Nasution), sangat terobsesi menjadi ronggeng (Penari) utamanya karena alasan masa lalunya yang pahit sekaligus membayar kesalahan orang tuanya. Srintil mengalami dilema yang sulit karena mencintai Rasus (Oka Antara) namun ia harus menyerahkan kehormatannya jika ia menjadi ronggeng.

Kisah film Sang Penari terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Ceritanya memang unik jika dibandingkan dengan film-film kita kebanyakan. Sejak awal hingga pertengahan film, teknik flashback digunakan dengan baik dan menarik, seperti ketika Rasus kembali ke kampung dan mengingat kejadian-kejadian yang telah ia lalui bersama warga kampung sebelum warga kampung dievakuasi. Dari sisi cerita ada beberapa informasi cerita yang kurang disajikan dengan baik yang membuat penonton bertanya-tanya. Seperti misalnya, apa yang membuat masyarakat Dukuh Paruk begitu memuja ki Secamenggala, dalam filmnya tidak begitu jelas latar belakangnya. Dalam film juga kurang begitu diterangkan mengapa Srintil yang tadinya tidak dianggap sebagai Ronggeng oleh sang dukun tiba-tiba bisa menjadi Ronggeng setelah menemukan keris milik Ronggeng yang terdahulu?

Secara teknis film ini terlihat matang, seperti film-film sang sineas sebelumnya. Penggunaan setting cukup baik menggambarkan suasana tahun 1950-1960-an, hanya nuansa mistis ketika ronggeng menari kurang begitu kentara. Akting pemain pun cukup lumayan. Penampilan akting Prisia dan Oka cukup pas bermain sebagai Srintil dan Rasus. Ilustrasi musiknya pun juga menyatu dengan adegan-adegannya. Shot akhir filmnya yang cukup istimewa, menegaskan bahwa Srintil telah memilih jalan hidupnya sebagai ronggeng, dan jalan panjang telah menantinya. Secara umum film cukup baik serta membawa warna sendiri bagi perfilman kita. Film ini mampu menggambarkan kisah romantika di sebuah desa terpencil pada masa 60-an yang kental dengan nuansa politik yang tengah panas-panasnya kala itu. Film ini dengan berani menggambarkan latar belakang sebagian masyarakat kita yang pada masa itu relatif masih terbelakang serta jauh dari beradab. Mungkin ini pesan moral yang ingin disampaikan sang pembuat film pada generasi muda kita sekarang untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Artikel Sebelumnya“Superhero”
Artikel BerikutnyaSang Penari, Antara Trauma, Pengorbanan, dan Cinta
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.