Sang Pencerah (2010)
112 min|Biography, Drama, History|08 Sep 2010
7.1Rating: 7.1 / 10 from 249 usersMetascore: N/A
The journey of an Indonesian national hero named K.H. Ahmad Dahlan striving for Muhammadiyah, an Islamic organization in Indonesia, and how he was rejected by the society as he was trying to fix up their perspective.

Plot filmnya dimulai dari lahirnya Muhammad Darwis yang kelak lebih kita kenal sebagai Ahmad Dahlan (Lukman Sardi). Darwis lahir dan dibesarkan di Kauman, Yogjakarta pada masa kejayaan Kasultanan Hamengkubuwono ke VII. Kauman pada masa tersebut adalah pusat peribadatan kaum muslim di Jogja. Masyarakat setempat pada kala itu masih kental dengan nuansa kejawen yang percaya dengan roh, sesajen, dan hal-hal mistik lainnya. Pada masa remaja ia memperdalam agama di Arab Saudi. Setelah lima tahun ia kembali ke kampung halamannya dan mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Ia lalu diangkat menjadi khotib di Mesjid Besar Kauman dan berkhotbah di depan raja, kyai, dan para santri. Dahlan juga mulai menyampaikan pandangan serta ajaran-ajaran Islam modern. Namun ajarannya tersebut dianggap kontroversial oleh para para kyai sepuh karena menentang tradisi yang berlaku kala itu. Walaupun ditentang Dahlan tetap pada pendiriannya. Lambat laun Ia mulai disingkirkan dari lingkungan mesjid besar.

Seperti film-film biografi kebanyakan, Sang Pencerah juga mengisahkan kisah hidup sang tokoh besar dalam periode waktu tertentu. Tokoh Ahmad Dahlan dikisahkan sejak ia remaja hingga ia dewasa, khususnya setelah ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada sekuen awal disajikan begitu apik melalui serangkaian gambar-gambar (montage sequence) yang menampilkan saat sang tokoh lahir hingga ia masa remaja. Inti cerita utamanya bermula ketika sang tokoh pulang menunaikan ibadah haji.

Inti ceritanya terfokus pada bagaimana Ahmad Dahlan berusaha mengubah pandangan masyarakat setempat yang konvensional menjadi modern. Konflik yang terjadi sepanjang film memperlihatkan pertentangan dua kubu yang saling berbeda pendapat yaitu antara kubu Dahlan dan kubu Kyai-kyai sepuh Mesjid Besar. Namun sayangnya, konflik antara dua kubu itu kurang digali secara mendalam. Masing-masing kubu mampu mempertahankan opininya. Contohnya pada adegan rapat besar ketika Dahlan menyampaikan usulan arah kiblat. Tidak ada yang mempertegas opini Dahlan sebagai tokoh kunci di film ini, karenanya kita menjadi kurang bersimpati pada sang tokoh. Bisa jadi mungkin memang faktanya seperti itu tapi siapa yang benar dan yang salah menjadi kurang tegas.

Baca Juga  Stip & Pensil

Salah satu kelemahan filmnya adalah konfilk yang lalu lalang begitu saja disajikan tanpa ada kesimpulan dan solusi yang jelas. Konflik hanya sekedar menjadi sensasi saja tanpa ada kelanjutan. Pihak kyai sepuh tidak secara konsisten menolak ajaran Dahlan. Contohnya ketika Dahlan membangun langgarnya kembali dan ajarannya semakin tersebar, pihak kyai sepuh hanya membiarkan saja tanpa ada tindak lanjut. Konflik selama bertahun-tahun ini terjadi tanpa ada pengembangannya menjadikan sepanjang film terkesan datar.

Dari sisi setting tampak dari sepanjang filmnya banyak memakai setting buatan. Setting interiornya cukup meyakinkan seperti interior mesjid besar dan langgar kidul. Sedangkan setting eksteriornya banyak diambil secara shot on location, seperti stasiun tugu,alun-alun, dll. Tetapi setting tugu jogja serta perspektif mata burung mesjid besar dan sekitarnya walaupun sudah dibuat semirip mungkin masih tampak artifisial. Dari sisi akting, Lukman sardi yang memerankan Ahmad Dahlan kurang begitu memukau dan masih tampak terlalu muda (di akhir-akhir film). Karakter Ahmad Dahlan sebagai tokoh kunci di sini tampak kurang memiliki wibawa dan kharisma sebagai seorang pemimpin besar. Sulit memang mencari informasi dan data tentang sang tokoh karena waktu yang terpaut sangat lama.

Sepertinya sineas kali ini cukup berani membuat film biografi sejarah yang membutuhkan banyak riset yang mendalam. Sineas sepertinya kurang bisa menyajikan fakta sejarah yang ada. Ini terbukti dengan cerita yang disampaikan tanggung dengan kombinasi unsur fiksi (rekaan) yang datar tanpa ada unsur dramatik yang cukup. Intinya sineas masih tampak hati-hati sepertinya agar tidak memicu kontroversi. Dari sisi sineas sendiri, secara teknis film ini jauh lebih baik dari film-film garapan lainnya seperti Ayat-Ayat Cinta, Get Maried, serta Menebus Impian. Filmnya sendiri secara umum telah mampu menggambarkan ajaran-ajaran Ahmad Dahlan yang mengutamakan Islam modern. Harapannya tokoh ini mampu menginspirasi pula generasi muda masa kini untuk bisa memaknai ajaran Islam sesuai konteks jamannya. Dari sisi perkembangan sinema Indonesia, film ini sudah satu hal yang positif serta merupakan lompatan baru. Walau dengan segala kekurangannya, tema film ini yang mendidik adalah solusi yang tepat untuk generasi muda kini.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaIn Liz Gilbert Shoes
Artikel BerikutnyaEat, Pray, Love, Perjalanan Mencari “Cinta”
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.