santet segoro pitu

Apakah tema ‘santet’ sedang tren tahun ini? Sebagai salah satu film horor dengan judul dan tema black magic tradisional, Santet Segoro Pitu menjadi salah satu yang paling sukses, mencapai satu juta penonton tepat dua minggu setelah tanggal rilisnya 7 November lalu. Disutradarai oleh Tommy Dewo yang baru pertama kali menyutradarai film layar lebar, film ini mengangkat cerita yang klise, namun cukup menarik. Film ini dibintangi oleh Ari Irham, Sandrinna Michelle, Christian Sugiono, Sara Wijayanto, Agus Firmansyah, Erwin Moron, Eduward Manalu, Khafi Al-Juna, dan Yatti Surachman.

Saat masih kecil, Ardi (Irham), jatuh sakit dan harus menjalani operasi agar bisa sembuh. Ayahnya, Sucipto (Sugiono), seorang pedagang pasar yang laris, berhasil membayar biaya operasinya, namun ketika sembuh, indra keenam Ardi terbuka membuatnya dapat melihat yang tak kasat mata. Keluarga Ardi pun memanggil orang pintar, Pak Rustam (Firmansyah), yang memutuskan untuk menutup mata batin Ardi agar tidak bisa melihat makhluk-makhluk yang tidak ingin menunjukkan diri padanya. Namun Ardi masih dapat melihat mereka yang ingin menunjukkan diri. Pak Rustam juga melarang Ardi pergi ke pasar yang dipenuhi dengan praktik-praktik curang dengan menggunakan jin-jin dan sihir.

Segalanya berjalan normal hingga suatu hari, seluruh keluarganya tiba-tiba diserang oleh ilmu santet yang sangat kuat bernama Santet Segoro Pitu, atau Santet ‘Tujuh Lautan’. Ini adalah ilmu santet berbahaya dengan ritual khusus yang menjadi misteri, memaksa Ardi menghadapi ketakutan dan membuka kembali indra keenamnya untuk menghancurkan kutukannya.

Ini adalah cerita horor yang sangat klise. Plotnya berputar di sekitar keluarga Sucipto, seperti kebanyakan film-film horor pada umumnya. Yang membedakan hanya ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ keluarga mereka dihantui oleh semua peristiwa horor yang terjadi di film ini. Sepertinya melihat tema dan judul ‘santet’ saja sudah bisa ditebak bagaimana alur ceritanya. Tidak pula ada plot twist yang mengejutkan, mengingat dari awal segalanya telah bisa ditebak dari petunjuk-petunjuk yang diberikan filmmaker. Bisa disimpulkan bahwa secara alur cerita dan plot, Santet Segoro Pitu terasa sederhana dengan formula yang standar, tidak ada orisinalitas sama sekali.

Lalu, adakah yang memikat dari film horor ini? Sepertinya hal yang membuat film ini cukup layak untuk ditonton hanyalah kualitas pengemasannya saja. Adegan-adegannya rapi dan disusun dengan standar yang baik, ditambah audio-audio menusuk telinga khas film horor yang digunakan sesuai kebutuhan, seperti standar film horor umumnya. Semua kualitas ini membuat penonton tidak perlu banyak berpikir atau menebak-nebak, mengingat semua misteri terpecahkan dengan terang-terangan pada akhirnya. Itupun bukanlah misteri yang sulit dipecahkan sejak awal. Mungkin ini salah satu hal yang membuat Santet Segoro Pitu menjadi tontonan yang mudah bagi penonton kasual.

Apalagi, film ini mengangkat formula dan peranan-peranan karakter klasik yang banyak ditemukan di film horor lainnya. Seperti kehadiran orang pintar yang membantu keluarga tokoh utama menyelesaikan masalah mereka, dan ritual dan harga yang harus dibayar untuk membebaskan keluarga mereka dari kutukan. Sesuai prediksi, para tokoh utama harus pergi menjalankan sebuah quest, atau petualangan untuk memenuhi syarat-syarat ritual untuk menyelamatkan keluarga mereka. Belum lagi membicarakan kematian-kematian berdarah karakter-karakter terpilih, dan mereka yang terlibat. Semuanya sudah biasa ditemukan di film dengan tema yang sama.

Untuk akting di film ini, wah, sepertinya ini adalah aspek paling kurang memuaskan di keseluruhan film. Filmmaker membuat keputusan bahwa film ini mengambil sudut pandang utama Ardi sebagai tokoh utama, tapi sayangnya akting Irham terasa dibuat-buat di film ini. Begitu pula dengan akting pemeran-pemeran karakter lainnya yang terasa tidak natural. Bukan hanya itu, mereka terasa tidak biasa menggunakan dialog berbahasa jawa, jadi logatnya pun juga terdengar kaku. Akting yang cukup baik di film ini dibawakan oleh Sugiono selaku ayah Ardi, Sucipto. Itupun bukanlah hal yang patut disebut sebagai fenomenal. Hanya cukup.

Baca Juga  Night of the Hunted

Bicara soal Sucipto, ada satu adegan dimana CGI digunakan yang melibatkan karakter ini. Sepertinya keputusan ini adalah salah satu yang paling menarik, karena betapa jelasnya penggunaan CGI-nya yang terlihat murah dan palsu. Namun, usaha penggunaan CGI ini adalah sesuatu yang cukup pantas diapresiasi. Bukan karena hasilnya yang bagus ataupun penggunaannya yang kreatif dan revolusioner di film horor Indonesia, tapi karena ini adalah resiko yang mungkin dapat membantu perkembangan perfilman Indonesia. Mungkin beberapa tahun lagi, Indonesia akan dapat memproduksi film horor dengan CGI yang lebih halus, lebih orisinal dan tidak terlalu menggelikan.

Sekarang, mari kita menjawab satu pertanyaan terakhir. Apakah film ini menakutkan? Secara keseluruhan tidak. Tapi ada beberapa adegan yang cukup mengesankan. Bukan adegan-adegan kematian berdarah-darahnya yang dikemas dengan overdramatic. Bukan pula beberapa jumpscare-nya yang, patut dipuji, tidak digunakan semena-mena. Melainkan, lagi-lagi adegan Sucipto, yang pertama kali menerima santet yang menghancurkan hidupnya. Suara-suara mengerikan yang berasal dari pedalaman hutan, entah itu suara monyet atau gagak, dan penempatannya yang pas. Ditambah guncangan yang ia rasakan di mobil setelahnya, tanpa menunjukkan satupun segi visual, atau memperlihatkan makhluk apa yang sebenarnya sedang mengejarnya. Adegan ini adalah adegan paling mengerikan di film ini, dan tidak ada lagi adegan yang lebih mengerikan setelahnya.

Karena begitu makhluk yang sedang mengejar keluarga mereka ditunjukkan, segala imajinasi tentang betapa mengerikannya makhluk ini pun hilang. Dan sayangnya, digantikan sosok menggelikan yang sama sekali tidak membuat bulu kuduk berdiri. Hanya tinggi, besar, gelap dan berbulu lebat seperti hewan yang bisa berdiri tegak saja. Klimaks dari film ini pun terasa acak-acakan. Pengemasannya terlihat membutuhkan banyak effort, namun segalanya terlihat murah dan apa adanya. Dan bicara soal penampakan-penampakan makhluk di film ini, memang terlihat kurangnya budget yang digunakan. Mulai dari makhluk terkuat hingga makhluk-makhluk siluman lainnya.

Lucunya, setelah beberapa anggota keluarga para pedagang pasar meninggal dalam waktu dekat dengan sebab yang tidak jelas, tidak ada investigasi polisi atau kecurigaan apapun. Ini semakin tidak masuk akal melihat betapa berdarah-darahnya mereka meninggal, yang jelas-jelas bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami. Mungkin para makhluk ini juga membantu keluarga korban menutupi kematian mencurigakan ini dengan sihir sehingga polisi tidak ikut campur?

Terlepas dari semua itu, yang paling menyebalkan adalah bagaimana mereka yang tidak salah apa-apa dan mereka yang berniat membantu justru mati terbunuh begitu saja. Kalau saja tokoh utama kembali dari quest-nya lebih cepat, mungkin mereka yang hanya berniat membantu ini bisa selamat. Sungguh kematian yang sia-sia. Sementara dia yang bertanggung jawab malah tidak mendapatkan bayaran atas keputusannya, kecuali rasa sedih, kecewa dan kehilangan. Lalu apa? “Saya akan berhenti menggunakan guna-guna”? Lalu dimaafkan? Lalu tidak ada lagi konsekuensi yang secara fisik menimpanya, padahal dia juga menggunakan ilmu sihir hitam?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaCinta dalam Ikhlas
Artikel BerikutnyaRanjang Pengantin: Sebuah Melodrama Klasik Berkelas – JAFF 2024

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.