JAKARTA (27/9): Panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) secara resmi mengumumkan penetapan nama “Piala Gunungan” untuk para pemenang FFWI. Pengumuman dikeluarkan Senin (27/9/2021) di Jakarta, setelah sebelumnya panitia FFWI melakukan diskusi dan perdebatan selama seminggu sejak 20/9 sampai 26/9. Selain itu panitia juga meminta pendapat dan masukan dari berbagai pihak.

“Nama Piala Gunungan ditetapkan melalui musyawarah mufakat dengan suara bulat,” kata ketua Panita FFWI XI, Wina Armada Sukardi.

Gunungan berbentuk segitiga lancip ke atas. Di dalamnya terdapat berbagai gambar kehidupan dan penghidupan di jagad raya, mulai dari fauna, flora, dan beragam bentuk kehidupan lainnya. Dalam dunia pewayangan, Gunungan dipakai untuk membuka (opening) dan mengakhiri (closing) cerita. Di samping itu gunungan dipakai pula sebagai tanda pergantian adegan.

Panitia FFWI sepakat menilai, Gunungan patut dijadikan nama piala FFWI lantaran berakar kuat pada budaya Indonesia. Pada sisi lain, secara historikal gunungan tidak dapat dipisahkan dari pertunjukan layar putih dengan citra bergerak dalam masyarakat Indonesia zaman dahulu. Yang kiwari dalam zaman modern di belahan dunia Barat bermetamorfosis menjadi pertunjukan film.

Pertimbangan lain, Gunungan juga mengandung filosofi tinggi. Struktur Gunungan yang berbentuk segitiga terinspirasi dari bentuk gunung (api), sebagai representasi kombinasi kesejukan sekaligus kekuatan yang maha dashyat.

Dari bentuknya mengerucut ke atas Gunungan menghimpun cipta, rasa, karsa, dan jiwa. Filosofinya semakin manusia ke atas, semakin berilmu, semakin dekat dengan Pencipta Yang Maha Tinggi. Di beberapa daerah Gunungan disebut juga dengan istilah Kayon.

“Jangan pula dilupakan, Gunungan tidak hanya dipakai dalam tradisi kebudayaan di Jawa saja, tetapi dengan berbagai nama lainnya juga dijumpai di banyak daerah Indonesia,” tambah Wina Armada.

Misalnya Gunungan pun ada dalam acara Mauludan di daerah Bulukumba, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Di sana, Gunungan makanan diletakan di atas kapal kayu yang kemudian diperebutkan oleh masyarakat. Dengan harapan mendapatkan berkah dari berbagai sajian makanan berbentuk Gunungan itu.

Baca Juga  Rebecca Ferguson Kandidat Captain Marvel

Gunungan identik pula dengan filosofi Bugis Makassar. Dikenal dengan adagium 3S-nya dalam Gunungan, yakni Sipakainga (Saling Mengingatkan), Sipakalebbi (Respect bersama) dan Sipakatau (Equal antarsesama). Adapun filosofi 3S ini terinsiprasi dari dua Gunung Besar Sulawesi Selatan, yakni Lompobattang dan Latimodjong.

Piala Gunungan terdiri dari lima tingkat yang merefleksikan Pancasila dengan tinggi total 28 cm. Bagian atas berdiri lambang FFWI dengan sisi teratas berbentuk Gunungan. Kemudian ada bagian bulat untuk dipegang tangan yang dihiasi gliter emas. Bagian ini sepanjang 10 cm, sehingga pas dalam genggaman pemegangnya. Antara bagian atas dan bagian yang dipegang, dibatasi satu bagian blok.

Begitu pula antara bagian tiang bulat untuk dipegang dengan bagian bawah ada blok lagi. Setelah itu baru bagian alas berwarna hitam berukuran tinggi 4 cm dan panjang 9 cm. Bagian bawah ini menjadi penyangga, dan akan ditempelkan nama para pemenang. Saat ini nama pemenang masih terbuat dari kuningan, tetapi direncanan ke depan jika FFWI sudah mapan, nama pemenang akan dibuat dari emas.

Menurut Wina Armada, desain ini dimatangkan secara “keroyokan” oleh panitia di bawah koordinasinya. Sedang teknis pembuatannya diserahkan kepada seorang ahli pembuat piala. “Ke depan kami akan mendaftarkan desain Piala Gunungan ke Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri,” tandas Wina.

Direktur Perfilman Seni dan Media, Direktorat Kebudayaan, Kemendibud Ristek, Achmad Mahendra, menyambut baik penamaan Piala Gunungan. “Tapi kami hanya bersifat mendukung. Karena pasti banyak filosofi dari terma Gunungan,” katanya.

Artikel SebelumnyaFree Guy
Artikel BerikutnyaNo Time to Die
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses