Penonton Indonesia pernah mendapat suguhan film berkonsep time loop tiga tahun lalu melalui Sabar Ini Ujian (2020) yang menghibur, dan Kembang Api (2023) yang dramatis Maret lalu. Kali ketiga konsep ini muncul kembali melalui drama keluarga padat nuansa Islam berjudul Satu Hari dengan Ibu. Kecuali Vonny Anggraini, Muzakki Ramdhan, dan Hifdzi Khoir, banyak pemain baru dalam film ini, termasuk Chand Kelvin dan Vebby Palwinta. Bahkan Amrul Ummami yang mengarahkan Satu Hari sekaligus menulis skenarionya bersama Ali Ghifari juga pendatang baru. Dengan konsep yang jarang (di Indonesia) tersebut, apakah filmnya sendiri sanggup memanfaatkannya?
Dewa (Kelvin) adalah anak satu-satunya seorang ibu tunggal (Vonny) yang berubah sikap jadi sangat membangkang sepeninggalan ayahnya. Ringan lisannya untuk membentak ibunya sendiri kapan pun ia merasa kesal. Berbuat baik sehari-hari pun dapat dihitung jari. Namun, setelah melihat kepergian sang ibu dan tiba-tiba terbangun lagi pada suatu pagi, rupanya Dewa mengulang hari yang sama terus-menerus. Sampai Dewa harus melakukan dan menyadari sesuatu untuk menghentikan pengulangan waktu yang dialaminya.
Hanya karena menjadi film ketiga “di Indonesia” dengan konsep time loop setelah Sabar Ini Ujian dan Kembang Api, bukan berarti langsung banjir pujian. Malahan, Satu Hari dengan Ibu memuat banyak sekali kelemahan. Skenarionya saja tidak berupaya memberi penawaran lebih. Sebatas mengandalkan konsep pengulangan waktu belaka. Itu pun masih gagal memanfaatkannya dengan baik. Terlampau jauh sekali bila mau dibandingkan dengan berbagai film time loop lain yang telah rilis selama ini. Jadi lebih baik tidak perlu. Sama sekali tidak apple to apple dengan film-film tersebut. Dengan Sabar Ini Ujian saja sudah kalah jauh.
Faktor adanya ambisi untuk “menyemburkan” sekencang-kencangnya serentetan pesan moral dan dakwah-dakwah Islami berakibat fatal terhadap kebutuhan film ini sendiri. Film adalah medium yang menuntut kreativitas, inovasi, dan eksplorasi dalam penciptaannya. Tentu berbeda dengan video orasi keagamaan yang bahkan keluar atau tak berkaitan dengan dunia cerita dalam film. Satu Hari bahkan jauh lebih buruk ketimbang Pelangi Tanpa Warna (2022) yang sedemikian membosankan, karena khotbah tokoh Fedi Bagaskoro (Rano Karno). Latar belakang alasan kesukaan Putri terhadap Dewa juga tidak terjawab sama sekali. Sekadar tokoh tempelan belaka yang “niatnya” penting, tetapi tidak “dimanusiakan”. Hanyalah alat untuk mengisi plot lain dalam cerita hidup sehari-hari protagonis.
Pesan moral dalam Satu Hari memang penting. Harus diakui itu, karena menyoal bakti anak kepada ibu. Namun, ini medium film, bukan mimbar dakwah atau semacamnya. Ada aspek-aspek filmis dan pengolahan skenario di dalamnya. Tak sekadar teriak sana-sini untuk menunjukkan kemarahan. Tak melulu secara tersurat menyampaikan pesan moral atau nilai-nilai keagamaan lewat dialog. Penyakit yang masih acap menjangkiti film-film Indonesia dengan tema-tema Islami. Sebut saja ketiga seri Surga yang Tak Dirindukan (2015, 2017, 2021), Ajari Aku Islam (2019), 100% Halal (2021), Cinta Subuh (2022), Hati Suhita (2023), Bismillah Kunikahi Suamimu (2023), serta masih banyak lagi lainnya.
Bahkan aspek kreatif lain dalam busana misalnya, tidak mendapat sorotan agar “seminimal-minimalnya” bisa mendukung kebutuhan emosi atau dramatisasi cerita. Satu Hari justru terang-terangan mengabaikan dukungan dari busana yang sebetulnya mengandung potensi. Sekadar disamakan dari hari ke hari untuk menandakan pengulangan waktu masih terjadi. Variasi adegan berulangnya pun kosong. Coba saja setidaknya amati cukup dua atau tiga film time loop lain. Pasti menampilkan variasi adegan yang menarik dalam setiap pengulangannya.
Suara dari audio Satu Hari dengan Ibu juga pecah. Ibarat sedang ada banyak orang yang saling teriak secara bergiliran dalam sepanjang film, walau sedang dalam situasi bercakap-cakap biasa. Pemilihan momen untuk kemudian dimasuki musik juga kerap meleset. Sering pula sebuah adegan pendek langsung dimasuki musik, sehingga seketika terpotong saat memasuki adegan berikutnya. Pengarah atau penata musik serta editor juga sang sutradara Satu Hari kekurangan rasa dan kepekaan dalam mempertimbangkan ketepatan waktu seputar musik (khususnya) dan audio (secara umum).
Satu Hari dengan Ibu hanyalah sajian bertendensi dakwah keagamaan sesuai proyek seseorang, tanpa memedulikan bagaimana sebuah film semestinya dibuat. Jelas sekali tendensi Satu Hari untuk semata-mata berdakwah, saat melihat banyaknya lembaga yang terlibat. Pun sekilas terkesan istimewa karena mengemas cerita dengan konsep time loop –yang notabene masih jarang “di Indonesia”. Namun, nyatanya para pembuat, investor, termasuk supervisor tidak bertanggung jawab untuk menghasilkan sebuah film yang berkualitas dan mapan. Salah satu kekecewaan sekaligus kekesalan paling puncak terhadap Satu Hari adalah masuknya sebuah video nihil motif yang menutup film ini. Sama saja dengan tayangan penutup yang mengakhiri Surga di Bawah Langit (2023). Sebagai konten dakwah, Satu Hari memang sudah sarat kebaikan, tetapi tidak sebagai sebuah film.
Ralat, film Indonesia kedua dengan tema time-loop itu Kembang Api yang sempat rilis Maret kemarin. Berarti ini film time-loop ketiga dari Indonesia.
Oh iya. Terima kasih sudah mengingatkan…
Tertarik dengan opini penulis jadi muncul pertanyaan memangnya film yang semestinya seperti apa?