Setelah menonton berita aksi terorisme yang disiarkan oleh televisi, pernahkah kita sejenak mengajukan sebuah pertanyaan, minimal pada diri sendiri, tentang apakah teroris terlahir ke dunia ini sebagai seorang teroris atau teroris itu sengaja diciptakan karena adanya latar lain yang mendukung?
Mungkin elaborasi lebih lanjut dari pertanyaan tersebut ialah apakah seorang teroris, ketika dilahirkan oleh ibunya, sudah mendapatkan predikat teroris, ataukah justru predikat teroris tersebut disematkan pada seseorang ketika aspek-aspek lain datang mendukung dan membenarkan, baik sikap maupun tindak tanduknya?
Jika respon dari pertanyaan di atas lebih cenderung menjawab kata tidak, maka bisa dipastikan sementara bahwa predikat teroris adalah murni diciptakan, bukan dilahirkan. Ia tidak muncul begitu saja. Ia pun tidak disematkan secara asal-asalan. Terdapat rangkaian sistematis guna menguatkan apa yang sudah dan akan dilakukan oleh seorang teroris. Dengan kata lain, predikat teroris yang disematkan pada seseorang ialah hasil akhir dari proses panjang yang harus ia lewati.
Sederhananya, seorang anak yang baru ada di dunia tidaklah mungkin di keningnya ada kalimat bertuliskan ‘saya seorang teroris‘. Tidak akan mungkin juga bagi anak ini, misalnya, ketika bangun dari tidur saat pagi hari, di dalam hati dan pikirannya, bercita-cita menjadi seorang teroris sebagai jalan hidupnya ke depan.
Merujuk pada pertanyaan reflektif di atas, dapat disarikan bahwa ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi seorang teroris. Sehingga, ia mau dan rela melakukan apa yang disebut sebagai kejahatan luar biasa, yakni terorisme.
Tentunya, kita menyadari bahwa kesimpulan di atas sifatnya permukaan saja. Kita tidak bisa membuat hal demikian hanya berdasarkan pada apa yang terlihat saja, atau menerka-nerka akar masalahnya berlandaskan anggapan umum tanpa data yang kuat.
Kiranya, kita membutuhkan kajian dan penelitian serius agar persoalan terorisme, dalam konteks lokal ataupun internasional, bisa diatasi secepatnya. Kemudian, kita juga memerlukan perangkat analisis, yang kuat dan menyeluruh, guna membantu mencari jalan keluar kenapa kasus terorisme belum bisa dihentikan dan bahkan terus berlanjut hingga saat ini.
Salah satu yang bisa diambil guna mengenal dan menanggapi masalah terorisme ialah dengan menonton film Sayap-Sayap Patah (2022). Meskipun film ini adalah fiksi yang diinspirasi oleh peristiwa nyata, kita setidaknya dapat mulai mengetahui apa itu terorisme, bagaimana terorisme terjadi, dan bagaimana aktor-aktor terorisme melancarkan aksi-aksinya.
Belajar pada Aktor Nyata
Sebelum mengulas lebih jauh film yang dikomandoi oleh Rudy Soedjarwo, kita perlu mencermati baik-baik apa yang diutarakan oleh salah satu anggota dari organisasi Jemaat Islamiyah (JI), yakni Ali Imron, seorang mantan narapidana kasus Bom Bali tahun 2002.
Sebagaimana diketahui, Ali Imron tergabung ke dalam organisasi JI, sebuah organisasi yang sudah dilarang di Indonesia. Ia telah membuat hebot dunia internasional dikarenakan aksi terorisme yang dilakukan di Bali.
Dalam wawancara di salah satu stasiun televisi swasta, Ali Imron pernah menyampaikan tentang pengalaman pribadinya ketika menjadi seorang teroris. Pastinya, pengalaman Ali Imron ini sangatlah khusus, dan besar kemungkinannya juga membuat orang tercengang ketika mendengarkan kisahnya pertama kali.
Ketika acara itu sedang berlangsung, Ali Imron diminta untuk memberikan kesaksiannya tentang bagaimana seseorang direkrut oleh suatu organisasi hingga akhirnya menjadi seorang teroris. Dalam konteks ini, Ali Imron berbagi kisah tentang bagaimana organisasi JI menyusun dan melaksanakan aksi terorisme, dimulai dari proses perekrutan anggota hingga mau menjadi seorang ‘ahli surga.’
Menurut pengalaman Ali Imron, perekrutan yang dilakukan oleh organisasi teroris berlangsung sangatlah singkat. Dalam kalimat yang disampaikanya, bahwa tidak perlu memerlukan waktu yang lama, hanya butuh dua jam guna memahamkan dan membuat seseorang untuk mau mengakhiri hidupnya dengan bom bunuh diri. Istilah populer terkait hal ini ialah seseorang mau menjadi seorang pengantin.
Meskipun konteksnya adalah pernyataan dari seorang mantan teroris, setidaknya terdapat dua hal penting yang dapat diambil dari kutipan wawancara di atas.
Pertama, apa yang disampaikan oleh Ali Imron menunjukan bahwa ancaman terorisme masih nyata dan sangat berbahaya, baik ancaman terhadap individu, masyarakat maupun negara. Bahkan, ancaman itu dalam perkembangannya bisa datang tidak hanya dari kelompok teroris, tetapi juga berasal dari teroris seorang diri, sebuah sebutan yang dalam beberapa tahun terakhir kian marak bermunculan.
Kedua, poin lain yang mesti ditekankan dari pernyataan Ali Imron di atas adalah keterlibatan aktor lain dalam mendorong tindakan terorisme. Ada proses indoktrinasi yang dilakukan, baik terhadap individu maupun kelompok, sehingga pada akhirnya mendorong seseorang mau menjadi seorang teroris dan menjalankan aksi terorisme.
Berdasarkan pada apa yang ditunjukan di atas, menjadi seorang teroris tidak serta merta terjadi secara tiba-tiba. Selain proses indoktrinasi sebagaimana diungkapkan oleh Ali Imron, terdapat faktor-faktor yang mendorong individu mau dan terlibat aksi terorisme.
Dalam beberapa penelitian, misalnya, faktor-faktor itu yakni fundamentalisme agama, (Taylor dan Horgan, 2001), dinamika sosial, (Young, dkk 2015), dan krisis psikologis, (Moghaddam, 2005; Sarwono, 2012). Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila faktor-faktor yang melatarbelakangi tersebut membuat seseorang merasa apa yang diyakini dan didoktrinkan tentang terorisme adalah benar dan bahkan mulia.
Paham Berbahaya dari Perjalanan Teroris
Film Sayap-Sayap Patah adalah salah satu film Indonesia, yang berusaha memposisikan diri, agar bisa dekat secara personal kepada penonton. Tawaran pengalaman yang bisa dirasakan oleh penonton adalah tentang bahaya terorisme dan bagaimana para teroris bersikap dan bertindak, dimulai dari sikap militannya para anggota yang tidak takut sama sekali kepada aparat kepolisian, proses rekrutan atau indoktrinasi yang singkat, hingga aksi menghabisi siapa saja yang tidak sepaham, dan bahkan aksi ini bisa dianalogikan sebagai aksi yang tidak kenal belas kasihan.
Film garapan Rudi Soedjarwo ini bercerita tentang anggota polisi yang gugur dalam bertugas. Sebagaimana diketahui, bahwa pengambilan tempat (setting) diinspirasi oleh peristiwa nyata di Mako Brimob. Sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 2018 itu menewaskan 5 (lima) anggota polisi.
Sebagaimana disampaikan oleh Denny Siregar, selaku produser, film Sayap-Sayap Patah memiliki tujuan agar kejadian pilu di markas polisi tersebut bisa dikenang sejarah, khususnya, kenangan tentang bagaimana para anggota polisi mengorbankan diri dalam tugas negara dan bagaimana para teroris merencanakan dan melancarkan aksi terorismenya.
Terdapat dua panggung cerita yang dibawakan oleh film ini. Mereka adalah panggung cerita keluarga dan terorisme. Panggung cerita keluarga dinarasikan oleh Nicholas Saputra/Aji dan Ariel Tatum/Nani. Sedangkan, panggung cerita terorisme divisualkan oleh Leong/Iwa K, Edward Akbar/Murod, Aden Bajaj/Rosyid, dan Ratih/Agla Artalidia,.
Secara singkat, cerita yang dinarasikan dalam film Sayap-Sayap Patah ini adalah kisah hubungan suami (Nicholas Saputra) dan istri (Ariel Tatum) yang hidup bahagia. Para penonton akan diajak untuk menikmati cerita tentang bagaimana pasangan suami istri harus menjalani hibup antara keluarga dan pekerjaan. Akhir sedih cerita film ini datang ketika mereka harus dipisahkan oleh situasi yang tidak menguntungkan sama sekali.
Di sisi lain, cerita lain yang juga menarik untuk disimak adalah bagaimana para teroris, yakni Leong, Murod, Rosyid, dan Ratih, merespon dinamika yang tidak sejalan dengan apa yang disebut sebagai tujuan terorisme. Walaupun sisipan cerita tentang terorisme ini bersifat minor, akan tetapi cerita ini secara keseluruhan adalah penggerak utama film.
Di dalam film ini, penonton akan melihat dengan jelas apa itu terorisme, apakah paham ini berbahaya atau tidak. Sebagaimana ditunjukan, para penonton akan menemukan bahwa Ratih (keponakan Rosyid), pada mulanya, tidak mengetahui apa itu terorisme. Akan tetapi, setelah diminta oleh Leong guna diyakinkan untuk menjadi seorang pengantin, maka Ratih pun rela membuat tubuhnya jadi medium tujuan terorisme. Berawal dari proses perekrutan, Ratih pun mau memakai rompi berisikan bom, dan rela tubuhnya diledakkan di dekat Pos Polisi.
Lebih lanjut lagi, perjalanan teroris yang diperankan oleh Leong merupakan representasi dari pengaruh bahaya terorisme yang luar biasa. Di dalam film ini, misalnya, pengaruh itu bisa ditemukan lagi ketika Leong ditangkap oleh polisi. Di dalam penjara, ia dimasukkan dan disatukan dengan para tahanan lain. Terlepas dari polisi yang tidak menyadari bahwa Leong ialah seroang teroris, para penonton disuguhkan tentang pengaruh terorisme yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Hal ini terbukti para tahanan yang berinteraksi dengan Leong ikut bergabung menjadi pemberontak di markas polisi. Di sana, mereka bersama-sama merusak dan membantu Leong membunuh para polisi yang sempat disandera.
Jika kita hubungkan dengan pengalaman yang disampaikan oleh Ali Imron di atas, maka sangatlah logis bahwa proses perekrutan yang dilakukan oleh teroris hanya cukup membutuhkan waktu singkat agar mau menjadi seorang teroris.
Refleksi Diri dan Daya Kritik
Di dalam film Sayap-Sayap Patah, setidaknya, terdapat dua adegan yang diinspirasi oleh hidup Ali Imron.
Pertama, adegan penyergapan markas teroris di tengah hutan. Di dalam film Sayap-Sayap Patah, para penonton melihat adegan Rosyid dan para teroris lain disergap oleh polisi Densus 88. Divisualkan oleh film tersebut bahwa hanya Rosyid yang tidak melakukan aksi perlawanan. Sedangkan, para teroris lain harus ditembak karena melakukan perlawanan.
Kedua, adegan lain yang juga menarik untuk disimak yakni ketika Rosyid dimasukkan ke penjara. Di sana ia bertemu dengan para tahanan lain. Para penonton menyaksikan bahwa para tahanan ini berdialog satu sama lain dan membahas tentang apa yang disebut sebagai truth-claimed, sebuah istilah yang merujuk pada anggapan membenarkan penilaian pribadi dan selalu menyalahkan orang lain.
Kiranya, salah satu orientasi dialog antara Rosyid dan para tahanan lain, yang bisa dituliskan adalah bahwa seolah-olah para teroris ini lebih tuhan daripada Tuhan yang sebenarnya. Tentunya, dialog ini dibuat dan dijadikan kritik bagi pemahaman para teroris yang ada tentang kafir dan tidak kafir. Tujuan dialog inipun sengaja ditekankan oleh film agar sikap dan pola pikir ekslusif para teroris harus segera direvisi.
Sebagaimana dilaporkan oleh pihak kepolisian bahwa pada saat penangkapan Ali Imron di Samarinda, Kalimantan Timur, ia tidak melakukan perlawanan. Selama menjalani masa tahanan di penjara, ia merefleksikan diri bahwa apa yang sudah dilakukannya adalah salah. Kemudian, ia pun lantas membantu polisi mengungkap jaringan terorisme di Indonesia sampai ke akar-akarnya, khususnya organisasi JI.
Secara umum, kisah perjalanan Ali Imron di dunia nyata dan Rosyid di dalam film kiranya ditujukan untuk menginspirasi para penonton yang sudah melihat apa itu terorisme. Para penonton diajak untuk menyikapi dengan serius bahaya nyata terorisme. Film ini juga memberikan aba-aba bahwa siapapun dan kapanpun bisa menjadi korban terorisme.
Terakhir, menyajikan peristiwa nyata yang terjadi di Markas Polisi ke dalam sebuah film, tentunya, membutuhkan suatu pendekatan khusus. Pendekatan yang dimaksud adalah apakah film yang diproduksi harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, atau format hiburan tetap dijadikan kendaran utama demi pesan yang akan disampaikan, yakni bahaya nyata terorisme, tetap berjalan. Salah satu pesan yang menjadi penekanan film Sayap-Sayap Patah adalah bahwa terorisme adalah suatu paham yang berbahaya bagi siapa saja dan kapan saja.