Satu lagi sekuel seri slasher populer, Scream, kini memasuki seri keenam sejak rilis pertama 27 tahun lalu. Setelah berjalan sekian lama dengan tipikal formula yang nyaris “sama”, apa lagi yang kini ingin ditawarkan? Walau semua sekuelnya tak sesukses film pertamanya, termasuk “reboot”-nya tahun lalu, namun rupanya cukup bagi para pembuatnya untuk melanjutkan seri horor ini. Scream 6 masih digarap oleh Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett. Para pemain utamanya masih sama dengan seri kelimanya, yakni Melissa Barrera, Jenna Ortega, Mason Gooding, Jasmin Savoy Brown, serta muka lama Courteney Cox. Beberapa pendatang baru, seperti Dermot Mulroney, Hayden Panettiere, dan Samara Weaving.

Setahun setelah kejadian seri kelima, Sam (Barrera) dan adiknya Tara (Ortega), bersama dua penyintas tragedi Woodsboro lainnya, Mindy (Brown) dan Chat (Gooding) pindah ke Kota New York. Tanpa diduga Ghostface ternyata masih mengikuti mereka melalui serentetan pembunuhan brutal yang terjadi. Sam dan Tara yang sempat diteror pun luput dari maut, namun orang-orang di sekeliling mereka satu persatu terbunuh dengan brutal. Polisi hingga FBI pun terlibat. Satu sosok lawas yang tersisa, Gale Weathers (Cox) pun ikut menginvestigasi dan menemukan sebuah petunjuk penting yang terkait tragedi silam sebelumnya.

Tidak seperti seri sebelumnya yang selalu dibuka dengan adegan percakapan telpon dan aksi brutal, kini dibuat sedikit berbeda dan bahkan sempat mengikuti sosok sang pembunuh. Adegan aksinya pun kini jauh lebih brutal. Seolah bakal menjanjikan satu premis berbeda dari sebelumnya. Berjalannya cerita, rupanya alur plot tak jauh berbeda, bahkan lebih konyol, seperti poin-poin berikut ini:

  1. Aturan main plot Scream kini sangat melelahkan dan mudah diantisipasi. Semua aturan-aturan film horor yang dilanggarnya, dulu menjadi poin terkuat kisahnya, namun kini tak lagi menggigit.
  2. Dari seri sebelumnya, semua pembunuh selalu adalah orang-orang di sekitar mereka, dan suspek selalu hanya sebagai pengalih, dan benar saja. Pembeda rupanya bukan soal arah cerita atau lainnya, namun adalah soal “kuantitas” yang kali ini terlalu mudah ditebak. Entah mau berapa banyak sang tukang jagal, The Murder of Orient Express sudah sejak lama melakukan ini dengan eksekusi yang brilian, berkelas, dan personal pula.
  3. Satu hal yang paling menggelikan dalam seri ini adalah, mengapa oh mengapa, setiap kali sang pembunuh terjatuh atau tersudut (misal akibat dipukul kepalanya dengan benda keras atau ditusuk benda tajam), namun sesaat itu pula mereka justru lari menjauh, padahal jika terus ditekan mereka jelas menang angin. Saya sampai geleng-geleng kepala setiap kali melihat aksi ini. Melelahkan. Satu adegan aksi ketika menyeberang bangunan sebelah dengan menggunakan tangga adalah satu aksi horor paling tolol yang pernah saya tonton.
  4. Seri sebelumnya selalu memberi pelajaran besar. Jangan percaya ketika seorang karakter telah tewas sebelum peluru menembus kepalanya seberapa banyak pun tikaman ke tubuhnya. Menyedihkan.
Baca Juga  A Good Day to Die Hard

Selain sisi brutalnya, Scream 6 tak lagi memiliki tikaman berarti untuk plot dan twist-nya yang konyol. Semua tikungan kisahnya seolah hanya main-main dan tidak ada ancaman berarti di sana. Tokoh-tokohnya sebagian besar tidak pernah menganggap serius situasi ini, tidak hingga maut menghampiri mereka. Scream 6, tak ada keraguan adalah seri yang terburuk dari semua serinya. Jika kamu fans horor dan serinya, be my guest. Bagi saya, serial ini telah tamat.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaThe Mandalorian Series, Ketika Seri Lebih Besar dari Feature
Artikel BerikutnyaYou Better Be Acting Like You’re in a Wes Anderson Film
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.