May the Devil Take You (2018)
110 min|Horror, Mystery, Thriller|09 Aug 2018
5.9Rating: 5.9 / 10 from 5,059 usersMetascore: N/A
When her estranged father falls into a mysterious coma, a young woman seeks answers at his old villa, where she and her stepsister uncover dark truths.

Sebelum Iblis Menjemput, produksi Sky Media dan Legacy Pictures ini, merupakan film horor besutan sutradara Timo Tjahjanto. Film ini adalah untuk kali kedua, ia menyutradarai sebuah film secara solo, yang sebelumnya memproduksi film aksi thriller, Killers (2014). Sebelumnya, Ia lebih sering menyutradarai bersama rekannya, Kimo Stamboel, yang keduanya lebih dikenal dengan Mo Brothers. Keduanya telah berkolaborasi memproduksi Takut: Faces of Fear (2008), Rumah Dara (2010), dan Headshot (2016). Mereka kita kenal memiliki gaya khas melalui adegan aksi yang cenderung sadis dan brutal. Di film ini, sang sineas mengkasting aktris Chelsea Islan dan Pevita Pearce sebagai bintang utamanya, yang tercatat baru kali pertama ini bermain dalam film horor.

Film ini berkisah tentang satu keluarga yang memiliki persoalan rumit.  Alfie (Chelsea Islan) mendapat kabar mengenai kondisi ayahnya, Lesmana (Ray Sahetapy) yang tengah koma akibat menderita penyakit tak wajar. Alfie sendiri telah bertahun-tahun tak bertemu dengan ayah kandungnya karena ia amat membencinya. Ia dan almarhum ibunya, ditelantarkan ayahnya setelah menikah lagi dengan aktris perempuan bernama Laksmi (Karina Suwandi) dan memiliki 3 orang anak. Kondisi ini, membawa mereka pergi ke sebuah villa ayah Alfie yang kini menjadi hak miliknya. Di rumah tua yang sudah tak terawat dan tak berpenghuni tersebut, terdapat sebuah pintu ruang bawah tanah yang tertutup rapat. Tak disangka, ketika pintu tersebut dibuka membawa malapetaka bagi keluarga tersebut dan membuka masa lalu Lesmana yang kelam.

Plot cerita di awal sudah menggambarkan persoalan keluarga yang begitu kompleks antara Alfie dengan ibu dan saudara tirinya menjadikan konflik utama cerita. Plot berikut yang berada di villa menjadi segmen horor nyaris sepanjang cerita filmnya. Intensitas ketegangan mulai terbangun ketika perhatian para tokohnya tertuju pada pintu basement yang tertutup dengan tempelan kertas-kertas penolak bala. Ketegangan mulai terasa karena sebelumnya penonton pada pembuka film telah mengetahui jika dalam ruangan tersebut sang ayah pernah terlibat sebuah aksi ritual pesugihan bersama seorang dukun wanita misterius. Semua aksi brutal pun bermula sejak pintu ini dibuka.

Baca Juga  Gara-Gara Warisan

Sang sineas juga mampu mengolah unsur misteri dengan membuat rasa penasaran dengan tak tergesa-gesa. Unsur suspense dan misteri terbangun amat baik hingga separuh cerita, namun di separuh sisanya, adegan aksi brutal yang berkepanjangan tanpa jeda, membuat penonton amat lelah. Hal ini pula yang mengaburkan unsur misteri dan ketegangan plot filmnya, karena sang sineas hanya fokus pada adegan aksi sadis. Ini memang sudah menjadi gaya sang sutradara yang memang suka bermain dengan adegan teror yang ekstrim.

Plot filmnya juga terdapat beberapa kejanggalan yang mengganggu dan beberapa segmen cerita seolah hanya terkesan untuk mengulur durasi cerita. Sebelum pintu basement terbuka dan sang hantu yang seolah baru terbebas dari sana, namun entah bagaimana, Alfie telah diikuti dan diteror sejak jauh sebelumnya. Ketika pintu dibuka dan salah seorang tokoh kerasukan justru keluar dari rumah setelah teror singkat yang ia lakukan, padahal ia bisa saja menghabisi mereka semua. Bukankah itu tujuan sang hantu. Soal minta pertolongan lewat handphone, penonton pasti setuju jika aksi satu tokohnya sungguh teramat bodoh setelah semua kejadian di rumah tersebut.

Satu pertanyaan yang menurut saya agak janggal pula adalah konteks waktu cerita. Mengapa harus dibuat dua hari? Padahal kejadian tersebut bisa terjadi satu malam, yang rasanya akan lebih menguatkan cerita. Pada keesokan harinya mereka bisa saja keluar mencari bantuan atau setidaknya ke luar dari rumah tua tersebut. Aneh, selama dua hari itu para tokohnya begitu kuat dan tangguh tanpa harus makan dan minum dalam situasi teror yang berkepanjangan seperti itu. Cuma sekali saja, di awal terlihat Alfie memakan buah apel.

Harus diakui memang bahwa kualitas teknis, yakni aspek sinematografi dan mise-en-scene (Kostum, setting, make-up, pencahayaan, dan akting pemain) tampak sangat matang dan tak kalah dengan film horor produksi Hollywood. Setting rumah terlihat sangat realistis tampak terbengkalai dan berkesan angker. Dari sisi akting, kedua tokoh utamanya yang lebih sering berakting di genre drama roman, kali ini membuktikan kualitas akting mereka dalam sebuah film horor aksi yang menantang. Dengan pencapaian teknis yang sedemikian baik, sangat disayangkan jika pencapaian cerita yang tanggung dan tak maksimal membuat film ini menjadi hambar.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaPiala Oscar untuk Film Populer
Artikel BerikutnyaEiffel… I’m in Love
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.