Disarankan untuk menonton penuh seri Secret Invasion sebelum membaca ulasan ini.

https://open.spotify.com/episode/5dsMI0XDdorupgfSMi4STN

Secret Invasion adalah miniseri yang merupakan rangkaian dari kisah Marvel Cinematic Universe (MCU). Seluruh episodenya digarap oleh Ali Selim dengan naskah ditulis Kyle Bradstreet. Miniseri ini memiliki total 6 episode berdurasi 40 – 60 menit yang dirilis Disney + sejak tanggal 21 Juni lalu. Bos Marvel Studios, Kevin Feige masih duduk sebagai salah satu eksekutif produser bersama sang aktor Samuel L. Jackson. Tercatat pula seri ini adalah seri kesembilan yang diproduksi Marvel Studio dan merupakan seri pertama yang membuka fase kelima MCU.

Nick Fury (Samuel L. Jackson) turun ke bumi karena situasi genting di mana oknum ras skrull diyakini akan menginvasi umat manusia dengan cara-cara anarkis. Bersama dua partner loyalnya, agen Maria Hill (Cobbie Smoulders) dan Talos (Ben Mendelsohn), Fury pun mengungkap dalang dibalik semua ini adalah Gravik (Kignsley Bin-Adir). Gravik adalah agen skrull binaan Fury dan Talos. Putri Talos, G’iah (Emilia Clarke) rupanya berpihak pula pada Gravik. Di antara bayang-bayang konflik dan intrik personal serba tak jelas ini, Fury yang telah uzur harus mengerahkan segala kemampuan otaknya tanpa bantuan Avengers.

Berbekal premis yang memikat, Secret Invasion memulai kisahnya dengan penuh misteri dan ketegangan layaknya kisah spionase. Kita bahkan tak tahu mana pihak kawan dan lawan. Kadang pun kita tak mampu berpegang pada sosok Fury dan Talos karena segalanya masih serba misterius. Kita tak tahu persis apa yang sebenarnya yang terjadi hingga semakin terkuak ketika kisah serinya berjalan. Episode pertama seri ini pun tak segan-segan “melenyapkan” satu tokoh besar, bahkan satu lagi sosok penting di beberapa episode berikutnya. Begitu mudahnya sosok-sosok ini dilenyapkan, kita pun tak tahu pasti, apakah itu benar-benar terjadi atau hanya pengalihan? Masih ingat nasib agen Coulson dalam The Avengers (2012).

Semakin kisah serinya berjalan, segalanya menjadi semakin jelas. Intrik dan misteri yang sudah dibangun demikian solid rupanya tak mampu dijaga dengan baik setelah lewat episode ketiga. Ibarat kisahnya menjadi gamblang dan mudah membedakan warna hitam dan putih. Pengembangan konflik tipikal “bad leadership” menjadi biang keladi dan sosok Nick Fury mengisi celah ini dengan mudahnya. Fury yang nyaris sepanjang serinya seolah direndahkan mengalami titik pembalikan yang hebat. Walau eksekusi akhir pun kurang menggigit. Lagi-lagi tipikal pertarungan hebat nan personal di klimaks yang melelahkan menjadi solusi tak terhindarkan. Intrik (spionase) seharusnya dibalas dengan intrik pula tanpa perlu campur tangan otot. Nick Fury punya otak cerdas dan brilian dalam semesta sinematiknya namun naskah serinya tak mampu mengolah kisahnya dengan cerdas.

Baca Juga  The Wandering Earth

Sebagai fans MCU, satu dua hal memang banyak hal baru dan menarik dalam miniseri ini. Di luar premis di atas, fans MCU kini bisa lebih jauh mengenal Fury dan Talos, serta apa yang mereka lakukan pasca peristiwa Captain Marvel (2019). Rupanya banyak hal terjadi setelahnya dan ini semua menjadi latar kisah Secret Invasion. Fury dan Talos rupanya pula tidak pernah tidur pulas dan terus melakukan upaya antisipasi melindungi umat manusia pasca Endgame. Satu dua hal pernah muncul di mid atau post credit scene film-film MCU yang memunculkan sosok Fury dan Talos. Selain itu pula, siapa menyangka Nick Fury ternyata punya kehidupan asmara di tengah kesibukannya. Sayang, sosok Maria Hill tidak banyak dieksplorasi dalam serinya kali ini.

Secret Invasion memiliki potensi premis segar untuk MCU serta menampilkan sisi lain dari sosok Nick Fury, namun pengembangan dan eksekusi yang lemah membuat seri ini sekadar membuka jalan untuk kisah berikutnya. Walau tak bisa dibilang bagus, setidaknya ini adalah cara efektif bagi semesta sinematiknya untuk membangun kontinuitasnya. Tak bakal semua film atau seri MCU mampu mencapai level masterpiece atau sekadar cukup dibilang berkualitas. Beberapa film dan seri, seperti contohnya seri ini atau Quantumania menjadi tumbal. Bagi saya personal, biang keroknya adalah konsep multiverse. Semua menjadi serba mungkin dan ini berujung melemahnya semua ancaman pada cerita MCU mendatang. MCU kelak hanya menjadi ajang aksi sirkus para superhero yang semakin beragam dengan segala konflik yang tak berujung. Semoga saya keliru.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaHaunted Mansion
Artikel BerikutnyaKetika Berhenti di Sini
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.