Pembicaraan seputar film horor seolah tak ada habisnya. Di satu sisi, film-film sejenis ini ditonton rata-rata sekitar 300 ribu jiwa, bahkan ada yang menembus angka satu juta. Namun, tak sedikit yang mendengar judul-judulnya saja sudah alergi dan cenderung meremehkannya. Sayangnya, karena dipandang bermutu rendah, mereka tidak sekadar meremehkan film-filmnya, tapi genrenya. “Film horor itu jelek”, generalisasi terjadi. Padahal genre ini melahirkan banyak mahakarya semacam, sebut saja, The Exorcist, The Omen, dan Psycho.

Menjamurnya film-film horor di Indonesia dewasa ini, menurut saya kebanyakan adalah tiru-tempel (copy-paste) dari film-film sejenis dari Korea, Jepang, dan Thailand. Walhasil, judul yang rata-rata berawalan kata “hantu”, “kuntilanak”, atau “pocong” (belakangan: “terowongan”) itu gampang ditebak dan tidak menawarkan sesuatu yang baru baik dari segi cerita atau pun eksplorasi sinematografi. Persis seperti template bekerja. Dari segi ketegangan, kebanyakan juga, seperti pernah saya tulis pada Menanti Film Horor yang Sebenarnya (Koran Tempo, 15/7 2007), mengagetkan dan bukan menakutkan. Tentu saja ada beberapa pengecualian seperti sang pelopor Jelangkung (Jose Purnomo/Rizal Mantovani, 2001), Legenda Sundel Bolong (Hanung Bramantyo, 2007), Hantu (Adrianto Sinaga, 2007), Mirror (Hanny Saputra, 2005), Pocong 2 (Rudi Sudjarwo, 2006), dan Takut Faces of Fears (omnibus 7 sutradara, 2008).

Di lain pihak, kita menyaksikan film-film klasik yang umumnya bergenre eksploitasi (film “murahan” yang umumnya mengumbar kesadisan dan keseksian karakternya) hingga sekarang masih dinikmati. Film-film yang dibintangi Suzanna, misalnya, masih saja dijual di beberapa tempat dalam bentuk VCD, bersamaan dengan film-film Warkop, Benyamin Sueb, Barry Prima, seri Lupus, dan banyak lagi. Suzanna (juga Barry Prima dan beberapa tokoh lagi) menjadi ikon. Dalam ajang layar tancap, film-film semacam itu juga acap diputar. Sementara, seperti yang sering saya putar, beberapa judul diedarkan di luar negeri oleh Mondomacabro DVD dan Troma Entertainment (soal ini, silahkan baca Pete Tombs, Penjaga Taman Film Eksploitasi Indonesia pada Trax edisi Maret 2009 dan Cult Boys Fan Bertemu Leak dan Jaka Sembung di Media Indonesia Siang, 3 Juli 2008). Masih diproduksinya VCD dan DVD adalah tanda adanya permintaan dari penonton.

Mengapa film horor lawas umumnya masih ditonton dan menjadi semacam collector’s item, sedangkan sepertinya film horor kiwari hanya ditonton sekali dua dan kemudian terlupakan?

Pertama, sekali lagi: variasi tema. Dari tiga subgenre, (horror-of-personality, horror-of-Armageddon, dan horror-of-the-demonic dalam teori Charles Derry), kita hanya fokus pada yang pertama: setan-setanan. Akmal Nasery Basral dalam Trenggale, Hantu Mobil dari Wasur Merauke (Koran Tempo 5/3) menegaskan bahwa itu pun setan di sekitar pulau Jawa saja. Padahal, dalam demonic horror pun ada banyak variasi semacam teen horror, kerasukan setan, dukun, dan ilmu hitam. Pada film klasik, ada Ratu Ilmu Hitam, Ratu Ular, Beranak dalam kubur (film Indonesia bergaya Barat pertama), Kemasukan Setan (meniru Exorcist), Ranjang Setan (diedarkan di Barat dengan judul Satan’s Bed, adaptasi dari Nightmare on Elm Streets). Ada horror-of-Armageddon yang apocaliptis seperti Pengabdi Setan (zombie, terinspirasi Phantasm). Dari segi psychologic horror, ada Primitif (bertema kanibalisme, film pertama Barry Prima)—dan kita pernah ada film pendek slasher berjudul (Dara), yang film fiturnya (Macabre) sedang digarap. Bahkan, banyak pendapat yang menyatakan bahwa genre ini adalah yang memulai film horor di Indonesia, lewat Lisa (1971, M. Shariefuddin), dan disusul oleh Pemburu Mayat (Kurnaen Suhardiman, 1972, tentang seorang psikopat pengidap nekrofilia)—seperti diungkap dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005—dan bukan Tengkorak Hidoep (1941, Tan Tjoei Hock) yang saat itu masih mengeksplorasi bentuk dibandingkan narasi. Ada juga horor komedi semacam Drakula Mantu dan Mayat Cemburu (skenario dibuat Teguh Srimulat). Juga biographic horror (film Kisah Nyata Dukun AS (Misteri Kebun Tebu), 1997, Eddie SS.) dan socio-historical horror seperti film Misteri Banyuwangi (Dukun Santet), 1998, Walmer Sihotang). Dulu variatif. Sekarang? Untunglah ada anomali, khususnya TAKUT: Faces of Fears yang menandakan banyak ragamnya film horor

Kedua, adalah status cult dari film itu. Secara sederhana, film cult adalah film yang mempunyai penonton yang militan dan setengah menghamba, walau pun kelompok kecil. Mereka ini selalu menonton berulang-ulang sebuah film yang berstatus cult, dan terus berburu film-film sejenis ini. Pendek kata, menurut cultographies.com, ciri khas film cult adalah adalah para pengikutnya yang aktif merayakan film-film yang cenderung melawan konvensi budaya karena memilih topik yang tidak umum. Dan walau pun aksesnya terbatas, tetapi selalu hadir nilai pemasaran yang berkesinambunggan dan publik merasakan kehadirannya film-film ini dalam waktu panjang.

Baca Juga  Rasuk

Apakah penonton kita memutar ulang film-film horor kita sekarang terus menerus? Apakah ada grup atau mailing list di internet yang khusus membahasnya? Perlu riset khusus soal ini, tapi saya meragukannya. Yang saya temukan, banyak diskusi popular tentang film horor jadul. Salah satu ukurannya adalah: apakah ada yang terkesan atau terngiang-ngiang sebuah adegan film? Seperti saat Suzanna yang menjadi Sundel Bolong membeli sate 200 tusuk dan meminum soto dari kualinya? Atau karakter yang sama membaya seorang pedagang dengan uang yang kemudian menjadi daun? Atau adegan tangan yang keluar dari kloset duduk dalam Bayi Ajaib, yang membuat saya takut ke kamar mandi selama beberapa hari itu?

Cult status itu juga melahirkan ikon cult. Sebut saja Suzanna, Barry prima, WD Mochtar, dan Sofia WD. Saat film Malaysia, Susuk, diputar di Jiffest Desember lalu, sang tokoh bernama Suzanna dan saya konfirmasi ke Amir Muhammad (salah satu sutradaranya), ternyata nama itu diambil dari aktris Suzanna. Bagaimana dengan masa kini? Adakah ikon cult kita? Jian Batari, mungkin? Mungkinkah, misalnya Dewi Persik nantinya menjadi ikon cult di masa depan?

Di masa sebelum Jelangkung, ada sutradara yang salah satu spesialisasinya adalah memproduksi film Horor. Sebut saja Sisworo Gautama Putra, Imam Tantowi, Tjut Djalil, dan Lili Sudjio. Apakah ini salah satu faktornya? Belum tentu juga, mengingat sutradara seperti Peter Jackson (Bad Taste, The Frighteners), Francis Ford Coppola (Dracula), Brian de Palma (Carrie) atau Stanley Kubrick (The Shining) yang sukses menggarap horor tapi mengerjakan genre lain. Dan toh, sekarang ada Koya Pagayo alias Nayato Fio Nuala.

Faktor lainnya adalah lokalitas. Kalau diperhatikan, yang dilirik distributor asing adalah film seperti Gondoruwo (judul Baratnya: The Haunted House) atau yang bernuansa black magic, mistis, dukun semacam Ratu Ilmu Hitam, Leak, Pembalasan Ratu Pantai Selatan, dan Nyi Blorong, artinya, ada nuansa lokalitas. Judul-judul lain yang masih beredar di negeri ini adalah Calonarang dan Telaga Angker. Konsumen Barat mencari sesuatu yang berbeda, yang eksotis dan tak dijumpai di Negara atau benua mereka, sebagaimana diungkapkan Pete Tombs– pendiri Mondomacabro DVD dan penulis buku Mondomacabro: Weird and Wonderful Cinema around the World–dalam surat-enya. Tombs dalam emailnya menyatakan bahwa secara umum, sinema eksploitasi Indonesia yang mereka edarkan umumnya tak bisa diprediksi dan lebih eksotis dari film Jepang atau Hong Kong, dan cara bertuturnya solid. “mereka tidak mencoba sok cerdas or posmo, tapi cuma ingin menghibur”.

Kini, walau pun ada, tapi bahasa audio visualnya adalah template dari film Korea-Jepang-Thailand. Coba saja bandingkan efek suara, ritme penyuntingan, look & feel-nya. Hanya sekadar pemindahan lokasi, aktor, dan bahasa. Tentu saja, tidak harus berlokasi di pedesaan semacam film-film klasik itu. Urban legend sesungguhnya merupakan satu tema menarik, seandainya diekplorasi.

Ada pun tentang peranan orang suci, keduanya berada dalam titik ekstrem. Dalam film jaman dulu, ulama atau pandita “hanya” sebagai pengusir setan dengan mantra dan doa, sedangkan dalam film pasca-Jelangkung nyaris tidak ada satu pun ulama atau tokoh agama—bahkan tidak ada tokoh yang membaca, katakan saja, ayat Kursi atau al Fatihah, saat ketakutan, sebagaimana kebanyakan masyarakat (Muslim) Indonesia.

Tentang asumsi template atau copy-paste dari Negara-negara Asia itu, perlu saya jelaskan sedikit. Pendeknya begini: film Indonesia sekarang lebih kepada visual horor (yang seram adalah yang tampak di dalam layar, penampakan atau hantu), sedangkan jaman dulu condong pada narrative horror (yang seram adalah ceritanya, hantu adalah bagian dari cerita). Jadi, walau jiplak, sangat banal, hanya permukaan semata yang diambil dari film-film luar itu. Brian Yuzna, tokoh genre fantasi yang juga produser Takut, menyatakan bahwa penonton non-Indonesia perlu dijelaskan agar paham dengan konsep-konsep khas Indonesia. Pete Tombs menyatakan hal yang sama. Ini penting mengingat definisi “apa yang menakutkan” (sebagaimana apa yang lucu) berbeda di tiap budaya, tempat, dan masa.

Dengan banyaknya jumlah produksi film horor kita yang mendominasi bioskop kota-kota di Indonesia, dengan warna dan gaya yang nyaris sama, tentu lambat laun akan terjadi efek bumerang: penonton akan jenuh dan capek sendiri, dan akhirnya meninggalkan bahkan alergi dengan istilah “film horor”. Mungkin saat itu terjadi, para produser film-film itu baru sadar bahwa mereka harus berbenah diri. Atau, mungkin juga, saat itu sudah terlambat.

Ekky Imanjaya
Redaktur Rumahfilm.org

Artikel SebelumnyaWatchmen
Artikel BerikutnyaThe Bow
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.