Wajah Baru Sinema Masala
 
Di era 60-an hingga awal 70-an sisa-sisa tradisi film masala klasik masih tampak melalui film-film roman dan aksi. Satu contoh terbaik adalah Pakeezah (1972) arahan Kamal Amrohi. Film yang konon memakan waktu produksi sekitar 14 tahun ini sejajar dengan film-film sinema populer klasik melalui gambar, aktor-aktris, lagu, dan tarian yang sangat memukau. Film-film masala bernuansa thriller juga mulai mendapat tempat, seperti Kala Bazar (1960) dan Guide (1965), keduanya arahan Vijay Anand, kemudian Gumnaam (1965) arahan Raja Nawathe.
Pada dekade 70-an, Pemerintah India dipimpin oleh rezim penguasa yang dianggap diktator dan korup. Di tengah kondisi kelam dan pesimistik ini muncul seorang sosok superstar yang mampu mewakili era ini, yakni Amitabh Bachchan. Dalam film-filmnya seperti Zanjeer (1973), Sholay (1975), dan Deewar (1975). Bachchan merubah genre konvensional dengan penekanan lebih pada adegan aksi dan kekerasaan dengan sedikit unsur lagu dan tarian. Sosok Bachchan yang karismatik, tinggi, dingin, dan keras, sangat pas dengan plot film-film aksi kriminal bertema balas dendam. Bachchan menjadi salah satu legenda Bollywood yang masih aktif hingga kini.
Perkembangan berarti bagi sinema populer semakin tampak sejak era 90-an dimana unsur-unsur budaya barat mulai menbanjir masuk. MTV yang mulai populer di India sedikit banyak mempengaruhi gaya musik, lagu, hingga teknik editing. Bintang-bintang muda berpenampilan menarik mulai bermunculan dan mengambil-alih kendali pasar, sebut saja Aamir Khan, Shah Rukh Khan, Salman Khan, Karisma Kapoor, Sridevi, Kajol, Madhuri Dixit, Juhi Chawla, hingga Aishwarya Rai. Satu film yang menjadi landmark generasi baru ini adalah Dilwale Dulhania Le Jayange (1995) yang dibintangi Shah Rukh Khan dan Kajol. Film yang sukses luar biasa ini konon diputar di bioskop-bioskop India hingga sepuluh tahun lebih sejak rilisnya. Film ini untuk pertama kalinya menggunakan shot on location di Swiss, Belanda, hingga New Zealand. Dilwale seolah membangkitkan era emas sinema masala beberapa dekade silam melalui plot roman menyentuh, gambar-gambar memukau, serta sekuen lagu dan tari yang menawan. Setelah sukses film ini duo Shah Rukh Khan dan Kajol bermain dalam belasan film lainnya.
Beberapa sineas muda berbakat juga bermunculan dengan karya-karya mereka yang fenomenal. Karan Johar sukses besar melalui film-film remaja dan keluarga seperti Kuch Kuch Hota Hai (1998) serta Kabbi Khushi Khabie Gham (2001) bersama duo Shah Rukh Khan dan Kajol. Shanjay Leela Bhansali sukses me-remake Devdas (2002) yang pada masanya memecahkan rekor produksi film termahal di Bollywood. Sineas Farhan Aktar dan Aditya Chopra masing-masing sukses melalui Dil Chahta Hai (2001) dan Mohabbatein (2000). Film-film masala juga mulai sukses di luar India, salah satunya adalah Lagaan (2001) arahan Ashutosh Gowariker yang sukses meraih nominasi Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaPather Panchali, Film Neorealisme ala Bengali
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.