She-Hulk: Attorney at Law adalah seri ke-8 dari rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU) yang merupakan seri terakhir dari fase ke-4. Film ini diarahkan Jessica Gao dan dirilis platform Disney Plus yang berakhir pada minggu ini. Seri ini memiliki total 9 episode yang berdurasi rata-rata 34 menit. Film ini dibintangi Tatiana Maslany dengan beberapa pemeran reguler MCU, sebut saja Mark Ruffalo, Benedict Wong, serta Tim Roth. Setelah sedemikian banyak seri dan karakter superhero, kini apakah She-Hulk menawarkan sesuatu yang berbeda sesuai tradisi MCU sebelumnya?

“Oh, I’m not a superhero. That’s for billionaires and narcissists. And adult orphans for some reason.”

Setelah kejadian kecelakaan mobil aneh yang menimpa Bruce Banner (Mark Ruffalo) dan sepupunya, Jennifer Walters (Tatiana Maslany), secara tak sengaja, Jen terkontaminasi darah Bruce yang menjadikannya seorang Hulk alias She-Hulk. Satu proses latihan bersama Bruce memperlihatkan bahwa Jen mampu mengontrol kekuatannya dengan baik lebih dari sang mentor. Dalam perkembangan, Jen, lebih tepatnya She-Hulk yang menarik perhatian publik, didapuk menjadi kepala divisi pengacara satu firma hukum, khusus untuk para manusia super yang membutuhkan penasihat hukum. Dalam lingkup kerjanya, Jen pun bersinggungan dengan sosok Wong, Abomination, Daredevil, hingga sosok manusia super tak dikenal lainnya. Kehidupan pribadi Jen pun rupanya juga terdampak dengan identitas barunya ini.

Dua hingga tiga episode pertama memang terasa menyenangkan dengan berbagai ragam sinematik yang tak biasa dalam MCU. Khususnya, teknik pelanggaran tembok keempat yang tentu sudah tak asing lagi dalam genre ini (Deadpool). Sosok Jen/She-Hulk, bisa semaunya berdialog dengan penonton dalam mengomentari situasi mentalnya saat itu. Seperti halnya dalam Deadpool, ia tidak hanya berkomentar soal situasi dalam kisahnya saat itu, namun juga bahkan hingga naskah dan produksi filmnya, terlebih pada seri penutup.

Baca Juga  I Think We’re Alone Now

Berlanjut seri-seri berikutnya, segalanya terasa melelahkan. Kisahnya seringkali terlalu remeh dan tak perlu, dalam artian tidak berdampak untuk kontinuiti plot serinya. Beberapa episode tertolong dengan kehadiran sosok cameo macam Wong dan Abomination. Namun ini tidak bisa menutupi kisahnya yang terlalu “tidak serius” dengan sisi komedi berlebihan dan kisah yang dipaksakan. Pertarungannya dengan satu sosok super (baca: tidak dalam perkara hidup atau mati) dengan seenaknya merusak fasilitas publik bahkan hingga kendaraan di sekitarnya. Tidak sadarkah ini bisa membahayakan orang lain? Ini jelas beda konteks dengan pertarungan di kota untuk film-film MCU lainnya, sebut saja peristiwa New York (Marvel’s Avenger) atau Winter Soldier. Mungkin tidak masalah bagi penonton lain, namun bagi saya ini terlalu konyol.

Bermain-main dengan ragam penuturan sinematik memang menyenangkan, namun She-Hulk: Attorney at Law terlalu berlebihan dalam eksekusinya. She-Hulk bisa jadi dimaksudkan untuk berbeda dalam artian “menghibur”, tidak seperti sebelumnya. Ya, saya setuju 100%. Bisa jadi banyak fans MCU yang terhibur. Tapi bagi saya, ini adalah produk MCU paling buruk yang kelak bisa membunuh semesta sinematiknya sendiri (semoga tidak). MCU sudah terlalu lama dan panjang dengan sukses komersial yang tak terkira, dan beberapa filmnya adalah yang terbaik di genrenya. Namun, khusus untuk satu seri ini saya sepakat dengan Martin Scorsese. Seri ini hanyalah sebuah sirkus.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaInang
Artikel BerikutnyaBetween Two Worlds (Festival Sinema Prancis)
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.