She Said mengingatkan banyak pada film peraih Oscar, Spotlight (2015) dengan tema investigasi kriminal oleh jurnalis. Isu yang diusung pun tidak kalah panasnya dan menyangkut industri film sendiri, yakni pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser HollywoodHollywood kondang, Harvey Weinstein. Film ini diadaptasi dari buku berjudul sama karya Jodi Kantor dan Megan Twohey. Film arahan Maria Schrader ini dibintangi oleh Carrey Mulligan, Zoe Kazan, Patricia Clarkson, Andie Braugher, dan Ashley Judd. Apakah film ini bakal sepanas isunya?

Jurnalis New York Times, Jodi Kantor (Kazan) suatu ketika mendapat info bahwa aktris Rose McGowan pernah dilecehkan secara seksual oleh produser besar Harvey Weinstein. Belakangan, dua aktris kenamaan pun, Ashley Judd (Judd) dan Gwyneth Paltrow ternyata pernah mendapat perlakuan yang sama. Namun, para aktris tersebut belum berani untuk maju ke media. Melihat potensi investigasi yang berat, Jodi pun meminta tolong rekan jurnalisnya, Megan Twohey (Mulligan) yang selama ini menginvestigasi dugaan pelecehan oleh Donald Trump. Investigasi yang dilakukan Jodi dan Megan pun, rupanya memicu respon dari pihak Weinstein yang mencoba membungkam mulut para pembisiknya. Dengan berbekal tips dari orang dalam, Jodi dan Megan mulai bergerilya mencari petunjuk dari para perempuan yang pernah bekerja pada Weinstein.

Bagi yang mengikuti perkembangan kasus ini beberapa tahun silam, nama-nama di atas memang sudah tak asing. Walau kini, kita sudah tahu nasib Weinstein, namun apa dan siapa, serta bagaimana prosesnya memang menarik untuk dikulik. She Said berhasil memberikan satu sajian investigasi yang solid dengan perantara dialog seluler yang begitu dominan. Kazan dan Mulligan bermain baik sebagai dua jurnalis yang gigih dengan selipan kehidupan pribadi mereka. Hanya sayangnya, hanya Ashley Judd yang bermain memerankan dirinya sendiri. Betapa otentiknya, jika Paltrow, McGowan, serta lainnya turut bermain sebagai diri mereka sendiri. Bisa jadi ini yang membuat filmnya terasa kurang menggigit. Intensitas ketegangan juga tak mampu kita rasakan bahwa ada ancaman kuat bagi dua protagonis kita.

Baca Juga  The Immaculate Room

Visualisasi berupa kilas-balik hanya disajikan secara sekilas (tanpa sosok Weinstein) dan kadang disertai “narasi dialog” untuk menguatkan kejadian. Rasanya ini yang membuat kisahnya terasa ada yang hilang, dengan hanya menyajikan fakta-fakta dan bukti-bukti melalui omongan semata. Tak ada rekonstruksi kejadian selain hanya kilasan gambar yang butuh imajinasi kita sendiri. Bukan berarti lantas menyajikannya secara otentik, kejadian-kejadian mengenaskan yang menimpa para gadis muda tersebut, namun secara filmis mestinya ini bisa disajikan lebih elegan tanpa visualisasi eksplisit.

She Said adalah sebuah film dokudrama penting dengan membawa isu perempuan dalam industri film yang sepatutnya dikemas lebih filmis dan powerful. Sayang sekali, film ini melewatkan satu momen besar dalam sejarah medium film. Suara dan pesan yang diangkat akan lebih kuat lagi jika para korban aslinya yang turut bermain sendiri. Pun para kastingnya, memang tak sekaliber para pemain senior dalam Spotlight yang naskahnya jauh lebih superior. Satu dialog dalam adegannya, justru membuat saya tergelitik dengan satu pertanyaan besar. Dari perspektif sebaliknya, adakah dan berapa banyak gadis muda (jika ada) yang menjual dirinya pada sang produser untuk melejitkan karirnya di perfilman?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaTroll
Artikel BerikutnyaQorin
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.