Melanjutkan kisah Si Doel the Movie, kali ini film sekuelnya, Si Doel the Movie 2 berlatar cerita setelah perjalanan si Doel (Rano Karno) ke Belanda, di mana ia bertemu Sarah (Cornelia Agatha) dan putranya di sana. Doel tidak menceritakan hal ini ke istrinya, Zaenab (Maudy Kusnaedi). Sementara di sisi lain, Zaenab memiliki ketakutan jika Doel bakal kembali pada Sarah, terlebih ia tahu jika dalam waktu dekat, Sarah akan kembali ke Jakarta untuk menetap. Konflik kisah filmnya kini lebih berkutat pada hubungan antara Doel dan Zaenab, setelah Doel bertemu Sarah.

Seperti seri pertamanya, Si Doel the Movie 2 masih tetap membawa nuansa original serial sinetronnya. Setting dan suasana rumah Betawi yang khas, oplet tua milik Babe, hingga motor butut milik Doel dan semua karakter pemainnya nyaris tanpa ada perubahan yang berarti. Ini memang sudah menjadi ciri khas sinetronnya sejak dulu.

Hal yang menjadi kekuatan utama film ini, tidak lain adalah akting para pemainya. Rano Karno bermain sangat matang dan tanpa ragu ia telah menunjukan kapasistasnya sebagai aktor senior di perfilman kita. Dua pemain reguler lainnya, yakni Suti karno dan Aminah Cendrakasih juga mampu mendukung nuansa cerita dengan sangat baik sebagai Atun dan Mak Nyak. Namun, di antara semua casting-nya yang paling menonjol adalah Mandra dan Zaenab. Mandra dengan sisi humornya yang khas mampu membuat seisi bioskop terpingkal pingkal dengan celetukan dan tingkah lakunya. Meski, beberapa ada yang kurang pas dengan momen filmnya, but its still fun. Sementara Maudy Kusnaedi dengan ekspresi wajah dan gestur tubuhnya, mampu menghipnotis kita untuk berempati pada sosok Zaenab. Satu yang paling dicatat adalah adegan ketika Sarah datang ke rumah Doel. Menurut saya, ini adalah akting terbaik Maudy Koesnaedi sepanjang karirnya.

Baca Juga  Akhirat: A Love Story

Secara teknis film ini juga terbilang mapan dari semua aspeknya. Satu hal yang menarik, tercatat adalah posisi dan pergerakan pemainnya (blocking) pada beberapa adegan. Seperti ketika Zaenab sedang marah, ia memilih untuk tidur membelakangi Doel, atau ketika Doel takut bertemu Zaenab karena ia sudah tidak jujur denganya, ia selalu mencari cara untuk menghindar. Hal semacam ini memang terlihat biasa dan sudah jarang digunakan dalam film masa kini tetapi entah mengapa, penggunaannya dalam film ini terasa begitu pas.

Keberhasilan film ini adalah karena kesederhanaan kisahnya. Saya secara pribadi suka dengan kisahnya karena konfliknya yang tidak meluas dan hanya terfokus pada kisah cinta mereka bertiga. Karakter lainnya hanya sebagai pendukung dari konflik utamanya. Konfliknya pun menarik. Kisah cinta yang sederhana berujung pada sesuatu yang rumit. Hal semacam ini tentu dialami banyak orang sehingga membuat kita penasaran bagaimana ini semua bakal berakhir. Zaenab adalah seorang perempuan yang cantik, lembut, baik hati, dan selalu menolong tidak hanya Doel tetapi keluarganya. Di lain sisi, Sarah adalah seorang perempuan mandiri yang sedikit “liar” dan selalu menjadi problem buat si Dul. But why he still love Sarah? Film ini sendiri sebenarnya sudah mengakhirinya dengan manis tetapi masih saja membuat penasaran. Kita tunggu sekuelnya?

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Gangster, The Cop, The Devil
Artikel BerikutnyaGodzilla: King of the Monsters
Febrian Andhika lahir di Nganjuk, 18 Februari 1987. Ia mulai serius mendalam film sejak kuliah di Akademi Film di Yogyakarta. Sejak tahun 2008, ia bergabung bersama Komunitas Film Montase, dan aktif menulis ulasan film untuk Buletin Montase hingga kini montasefilm.com. Ia terlibat dalam semua produksi awal film-film pendek Montase Productions, seperti Grabag, Labirin, 05:55, Superboy, hingga Journey to the Darkness. Superboy (2014) adalah film debut sutradaranya bersama Montase Productions yang meraih naskah dan tata suara terbaik di Ajang Festival Film Indie Yogyakarta 2014, dan menjadi runner up di ajang Festival Video Edukasi 2014. Sejak tahun 2013 bekerja di stasiun TV swasta MNC TV, dan tahun 2015 menjadi editor di stasiun TV Swasta, Metro TV. Di sela kesibukan pekerjaannya, ia menyempatkan untuk menggarap, The Letter (2016), yang merupakan film keduanya bersama Montase Productions. Film ini menjadi finalis dalam ajang Festival Sinema Australia Indonesia 2018.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.