Nostalgia kisah anak Betawi yang ditayangkan sejak tahun 1994 membuat masyarakat pecinta sinetronnya ingin kembali menikmati suasana saat itu. Baru 4 hari rilisnya, film ini telah meraih lebih dari 700 ribu penonton. Dilema seorang laki-laki rendah hati idaman para perempuan, Doel, masih menjadi greget tersendiri dan mengulik rasa penasaran. Si Doel the Movie hadir mengundang masyarakat dari berbagai kalangan, khususnya usia dewasa. Lalu dilema apa lagi yang harus Doel hadapi saat ini?
Dikisahkan Doel telah menjalani hubungan rumah tangganya dengan Zaenab setelah Sarah pergi meninggalkannya. Selama belasan waktu berlalu, Doel tidak mendapatkan kabar apapun dari Sarah yang ternyata telah mengandung buah hatinya. Perjalanan ke Belanda pun harus Doel tempuh untuk suatu urusan yang tidak terduga. Mandra yang menemaninya memberikan suasana kocak dengan segala tingkah norak dan kampungan khas orang Betawi asli. Apa yang dialami Doel kemudian membuatnya bingung harus bersikap bagaimana, penonton pun harus siap terbawa perasaan.
Si Doel the Movie memberikan gambaran yang baik sesuai dengan representasi sinetronnya dulu. Rumah beserta perabotannya serta kendaraan khas yang dimiliki keluarga Doel mampu memberikan suasana yang membawa penonton terbawa nostalgia mengingat-ingat adegan sinetronnya. Tetapi, ada yang membuat saya merasa kurang pas ketika memperhatikan akting para pemain. Entah mungkin karena mereka sudah lama tidak berakting atau karena pengaruh usia, para pemain tampak kaku kecuali Mandra. Akting Mandra masih luwes dan lucu sehingga menghibur sepanjang film. Bagaimana dengan Doel? Ia masih “menggemaskan” dengan ekspresinya yang lempeng seolah tidak bernyawa atau tidak terlihat bisa bersikap tegas sebagai laki-laki. Yah, mungkin saja ia memang dilema harus menjaga perasaan perempuan-perempuan di sekelilingnya. Seperti yang dia ucapkan dalam hati, bahwa ia tidak ingin menyakiti hati tiga perempuan yang ada di dalam hidupnya, yaitu ibu, Zaenab dan Sarah. Tapi, mungkin itulah yang unik dari karakter Doel, tanpa ekspresi dan sikap yang jelas. Benar-benar bikin geregetan. Setidaknya bagi saya.
Menikmati candaan dan ekspresi kocak Mandra, saya terpingkal-pingkal dengan geli. Meskipun sosok Mandra sudah tampak tua, tetapi sikapnya masih saja seperti dulu yang kekanakan dan perlu diarahkan oleh Doel. Tetapi, memasuki adegan yang melibatkan perasaan dan hubungan yang rumit, saya merasa seolah masuk ke dalam film, entah itu perspektif dari Sarah dan di saat yang lain menjadi Zaenab. Memang, Si Doel the Movie tidak disajikan dengan pencapaian pengadeganan yang patut diacungi dua jempol, tapi tetap bisa dinikmati dengan layak, dengan catatan, jangan berekspektasi tinggi. Kita tidak bisa membandingkannya dengan film drama produksi luar walaupun setting-nya berada di luar negeri. Entah, sengaja dibuat seperti tidak mau meninggalkan cita rasa sinetronnya, agar kesan orisinilnya masih terasa, atau memang, kualitas seperti inilah yang ingin dibuat Rano Karno sebagai sutradara dan penulis film. Setidaknya, film ini tetap layak untuk dinikmati walaupun di akhir film, saya merasa seperti habis nonton sinetron satu episode dan siap menanti episode selanjutnya.
Mata pun sempat basah, alur film yang berjalan lambat terfokus pada kisah cinta segitiga tiada akhir yang kondisinya semakin rumit. Penonton perempuan, dijamin akan lebih berisik mengomentari film karena kisahnya memang berkaitan dengan perasaan perempuan. Baik Zaenab maupun Sarah, sejak dulu hingga sekarang membuat saya gemas. Zaenab, si perempuan baik hati dan sederhana terlalu pasif, tampak anggun dan sayang untuk dilepaskan. Lalu Sarah, perempuan bersemangat yang manja dan seksi memang sulit untuk ditolak dan dilupakan pesonanya. Sayangnya, dua hal ini kurang ditonjolkan dalam film. Andai saja ditampilkan dengan cara yang lebih signifikan untuk merepresentasikan dua karakter perempuan yang tipikal ini, tentu saja filmnya akan lebih memberikan kesan mendalam dan tidak hanya sekedar sinetron yang ditayangkan di layar lebar.
WATCH TRAILER