..
Saya datang ke bioskop dengan sebuah prasangka buruk. Filmnya akan busuk, seperti yang pertama. Di bagian awal, prasangka itu terasa benar. Ada adegan yang ingin langsung mengharu biru penonton. Seorang tokohnya, di tengah podium saat menerima penghargaan, melantunkan puisi sedih bagi kakaknya. Sang kakak terlihat menahan tangis. Oh, Tuhan… Masak kita sudah langsung disuruh nangis, sih? Saya tak tergoda ajakan konyol itu. Saya ingin fokus melihat filmnya dan mencari-cari lagi adegan konyol apa lagi yang mungkin tersaji di depan.Tapi, lama-lama, ko’ saya menikmati ceritanya, ya?
..
Saya lupa dengan niatan awal, mencari cacat cela film ini. Setiap kali cacat itu muncul, saya memaafkan dan lalu mengikuti kisahnya terus. Sampai tuntas dan bahkan, ini yang saya tidak percaya, ikut terharu juga di beberapa bagian.Saya tergolong orang yang senang dibuat haru oleh film. Saat sebuah film berhasil membuat permukaan mata saya basah, film itu saya anggap berhasil. Setidaknya, film itu berhasil mengaduk-aduk emosi penonton. Kita jadi terikat dengan cerita dan kehidupan karakter di layar. Dari sini saya bertanya-tanya, bagaimana film yang bagian pertamanya saya sebut tak lancar bak novel difilmkan dengan serampangan itu bisa membuat saya nyaris menitikkan air mata?
Di film pertama, kita dikenalkan pada tokoh-tokoh film ini. Ada Azzam (Khollidi Asadil Alam) yang mesti menghabiskan waktu 9 tahun kuliah di Mesir karena mesti berjualan tempe di sela kuliah. Ada Anna (Oki Setiana Dewi, kata istri saya mukanya aneh, “mirip marmut.” Buat saya, Oki marmut yang cantik.) mahasiswi cantik yang menemukan cinta pandangan pertama pada Azzam, tapi akhirnya bertunangan dengan Furqan (Andi Arsyil Rahman), mahasiswa kaya raya lagi soleh, tapi dijebak seorang cewek Mesir dengan disuntik virus HIV. Furqan mengalami dilema hebat. Ia harus meneruskan pertunangannya dengan Anna, tapi tak mau menularinya. Ada pula Eliana (Alice Norin), putri dubes Indonesia di Mesir yang juga artis sinetron populer. Ia naksir Azzam, tapi Azzam tak berkenan pacarannya dengannya.Lantaran terlalu nurut dengan novelnya, film pertama berjalan tak lancar.
Akhirnya saya berkesimpulan, jika novel ini kisahnya difilmkan sebaiknya film pertama tak usah dibuat. Untuk mengenalkan konflik di atas cukuplah dikisahkan dalam 30 menit pertama film. Tapi saya sadar. Film ini produk komersil. Syutingnya di tempat asli novelnya pula, Mesir. Akan disayangkan bila dipotong. Membuat dua film adalah keputusan yang, buat saya, semata berdasar alasan komersil. Tak hanya ingin bersetia pada novelnya. Sekuelnya adalah bagian di mana semua konflik diurai lalu dipecahkan. Eksotika lokasi syuting bukan lagi jualannya. Film ini, akhirnya bertumpu pada sajian utamanya: cerita. Azzam yang pulang ke kampungnya di Kartasura, Jawa Tengah, menemukan realita hidup. Ia harus bekerja dan mencari jodoh. Film ini lantas terlalu rinci mengurai perjalanan Azzam jadi sukses. Pertama ia merintis usaha ekspedisi, lalu menemukan ide jualan bakso “cinta”. Sementara untuk urusan jodoh, beberapa wanita jadi incarannya (Jangan artikan “mengincar” macam-macam. Ini film islami, ingat!).
Kisah hidup Azzam yang jatuh-bangun mencari jodoh bagi saya terasa betul mirip sinetron. Ia bagai rangkaian episodik karakter-karakternya, terasa dipanjang-panjangkan. Pada beberapa bagian malah terasa menggampangkan persoalan (lihat bagaimana kisah ini berakhir; si anu dengan si anu, si fulan dengan si fulanah). Kamera tidak menyoroti keeksotikan kampung Jawa. Yang disorot melulu gerak tokoh-tokohnya. Mirip betul sinetron. Salahkah itu? Jelekkah itu? Saya berani bilang tidak. Sinetron tidaklah buruk. Sebelum sinetron Indonesia dirusak oleh produser-produser India itu, sinetron adalah produk budaya pop mencerdaskan. Enak diikuti karena aktingnya wajar dan ceritanya masuk akal.
Begitupun film ini. Chaerul Umam telah berhasil melatih para pemain baru itu berakting normal. Menonton KCB 2 mirip nonton sinetron TVRI zaman dulu. Kisahnya mengalir lancar. Akting pemainnya wajar (Deddy Mizwar dan Niniek L. Karim tetap yang paling cemerlang). Adaptasi yang disusun Imam Tantowi di sekuelnya ini berhasil mengharu biru saya. Meski begitu, menurut saya, sejak awal cerita KCB memang lebih pas untuk diangkat jadi sinetron, atau setidaknya mini seri. Bukan film layar lebar. Kisahnya bisa dipecah-pecah menjadi satuan episode.Tapi jangan saja lantas ide ini benaran dicomot produser-produser India itu. Saya tak bisa membayangkan tokoh Anna terkaget-kaget saat tahu suaminya terinveksi HIV dengan kamera menyorot matanya yang terbelalak diiringi musik menderu. (Ade Irwansyah)