Single 2 merupakan film sekuel dari Single (2015) yang dibintangi dan diarahkan oleh Raditya Dika. Film ini kembali menampilkan dua bintang utamanya, sang komedian sendiri bersama Annisa Rawles, serta didukung Yoga Arizona, Ridwan Remin, Arif Muhammad, serta Mentari Novel. Sang sineas yang sangat produktif sejak satu dekade belakangan ini total telah menyutradarai 11 film termasuk film ini. Sejak sukses komersial Single, Koala Kumal, dan Hangout, performa raihan film-filmnya semakin menurun, dan kali ini sang sineas mencoba kembali peruntungan melalui film sekuelnya ini. Mampukah secara kualitas setidaknya menyamai film pertamanya?

Filmnya masih mengisahkan Ebi, seorang stand up komedian muda yang sebentar lagi memasuki usia 30 tahun, dan hingga kini, ia masih single. Cerita masih berkutat seputar Ebi yang masih saja takut untuk mengutarakan cintanya pada pujaan hatinya, Angel yang kini kuliah kedokteran di Bali. Ebi kini mencoba mencari jodohnya dibantu oleh dua rekannya Johan dan Nardi.

Sejak pengalaman peristiwa dalam film pertama, rupanya Ebi masih belum belajar juga untuk mengutarakan hatinya. Tak hanya sosok karakternya, namun juga sang sineas sendiri. Setelah Target, kini ia masih belum pula bisa belajar banyak. Dari semua film sang sineas yang pernah saya tonton, rasanya film ini yang terburuk. Nyaris semua sisinya lemah, terutama sekali pengadeganan dan dialognya. Semua setting-nya terasa sekali seperti seadanya. Sekuelnya kali ini juga kehilangan dua pendukung sebelumnya, Pandji Pragiwaksono dan Babe Cabita yang mampu menghidupkan suasana semua adegannya.

Sementara dalam film ini, semua adegan tampak lambat, kaku, kosong, dan repetitif. Dialognya terasa kaku sekali dan tak hidup. Banyak dialog tak perlu terlontar, dan sering kali terlalu berlebihan. Semisal dialog antara Ebi, Johan, dan Nardi, lalu Ebi dengan adiknya, terasa itu-itu saja. Dua rekannya selalu memberi saran dan diikuti begitu saja oleh Ebi. Aroma persaingan juga tak segreget sebelumnya karena sosok sang rival (Arya) tak memiliki kesan yang kuat. Dalam satu momen ketika Ebi berkencan dengan Alika, ia bernyanyi dengan suaranya yang “merdu”. Rasanya sang pemain tak perlu secara sengaja bernyanyi dengan suara fals hanya untuk terdengar buruk. Terasa memaksa sekali. Satu momen twist bagus pada penghujung kisahnya juga tak mampu mengangkat filmnya yang membuka peluang untuk sekuelnya.

Baca Juga  Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi

Secara keseluruhan, Single 2 adalah satu contoh film komedi sekuel yang memaksa dari nyaris semua sisinya, baik penceritaan, pengadeganan, dialog, setting, bahkan hingga sisi komedinya. Tak banyak tawa dalam ruang bioskop, kecuali segelintir penonton yang tertawa berlebihan ketika hanya satu adegan konyol sepele tersaji. Tak banyak humor cerdas di sini. Bahkan film sang sineas tahun lalu, Target, masih terbilang lebih baik sisi komedinya. Film ini bicara soal cinta dan keberanian untuk menggapainya, namun Single 2 tak cukup memberi kesan untuk mengutarakan pesannya.

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaHit & Run
Artikel BerikutnyaKuntilanak 2
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses