sinners

Sinners adalah film drama aksi horor periodik yang digarap oleh sineas kondang, Ryan Coogler. Coogler kita kenal dengan karya-karya berkualitasnya, yakni Fruitvale Station, Creed, hingga seri Black Panther. Coogler kembali membawa aktor regulernya, Michael B. Jordan, yang kini bahkan bermain dobel sebagai si kembar protagonis. Beberapa nama besar juga turut bermain, sebut saja Hailee Steinfeld, Miles Caton, Jack O’Connell, Wunmi Mosaku, Jayme Lawson, Omar Miller, Li Jun Li, and Delroy Lindo. Akankah karya terbaru Ryan Coogler ini mampu bersanding secara kualitas dengan karya-karya sebelumnya?

Kisah filmnya berlatar tahun 1932 di sebuah wilayah pinggiran pada akhir era depresi besar yang menjadi salah satu peristiwa paling kelam di AS. Setelah lama di kota, si kembar eks gangster, Smoke and Stack (Jordan) mencoba peruntungan bisnis di kampung halaman mereka, dengan membuka klub malam untuk warga kulit hitam. Mereka mencoba mengajak rekan-rekan lama untuk turut ambil bagian dalam bisnis tersebut. Pada malam pembukaan, sekelompok vampir mencoba mencari mangsa di tempat keramaian baru tersebut. Kegaduhan besar pun terjadi.

Dari ringkasan plotnya, kita sudah mencium satu premis segar melalui latar, tema, dan kisahnya. Plot senada pernah kita lihat sebelumnya dalam film arahan Robert Rodriguez, From Dusk Till Dawn (1996), yang naskahnya ditulis pula oleh Quentin Tarantino. Neraka berkobar, ketika sekelompok kriminal terjebak dalam bar yang rupanya adalah sarang vampir. Uniknya, dua pertiga plotnya berkisah drama kriminal yang mengambil twist begitu mengejutkan di segmen klimaks. Sinners juga mengambil pendekatan yang nyaris mirip, dengan separuh awalnya memberi kesan sebuah drama periodik murni. Pembeda tegas adalah From Dusk Till Dawn adalah film aksi (hiburan) murni, sementara Sinners menggunakan elemen horor (vampir) begitu brilian untuk menyelipkan tema dan pesannya.

Baca Juga  Geostorm

Plotnya mengambil latar di mana kaum kulit hitam masih menjadi minoritas yang terpinggirkan dengan sisa-sisa kelam masa lalu (perbudakan, Klu Klux Clan) masih membayang. Semua karakter utama memiliki problema masing-masing yang dituturkan secara lambat pada separuh durasi awal. Semua isu dan masalah dipaparkan secara bergantian, seperti trauma, asmara lintas ras, minuman keras, rivalitas bisnis (kulit putih), ras Cina dengan bisnis kelontongnya, hingga musik blues. Dengan segala campur aduk kisahnya, secara berkelas, elemen vampir diselipkan sebagai “subteks” yang mengikat segala kekacauan kisahnya. Vampir bukan hanya menjadi simbol superioritas kaum kulit putih, namun sifat natural yang ada dalam diri semua manusia, seperti yang menjadi titelnya. Memang butuh pemaparan lebih panjang untuk bisa mengevaluasi satu persatu subplotnya.

Melalui pendekatan cerita unik dan kombinasi genre yang segar, Sinners adalah satu karya brilian untuk tema dan genrenya dalam beberapa dekade terakhir. Elemen musik menjadi satu kunci yang menjadi penghubung antara tema kisah dan pesannya. Ini dipaparkan melalui satu pengadeganan absurd dan transendental, ketika berbagai aliran jenis musik divisualisasikan. “Musik menembus batasan ruang dan waktu”. Score-nya yang amat brilian dan membekas digarap oleh Ludwig Göransson yang juga menggarap Black Panther (Piala Oscar), Tenet, hingga Oppenheimer (Piala Oscar). Rasisme, vampir, dan musik adalah satu hal muskil untuk dipadukan, namun Sinners mampu menekelnya dengan gaya begitu berkelas. Dengan pencapaian tema dan naskahnya, tak mengherankan jika film ini bakal mampu meraih prestasi di banyak festival bergengsi. Kita tunggu saja pada penghujung tahun.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaThe Amateur | REVIEW
Artikel BerikutnyaG20 | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses