Produser: Ifa Isfansyah
Sutradara: Eddie Cahyono
Pemain: Sekar Sari, Ibnu Widodo, Bintang Timur, Haydar Saliz, Titi Dibyo
Penulis naskah: Eddie Cahyono
Sinematografer: Ujel Bausad
Editor: Greg Arya
Ilustrasi Musik: Krisna Purna
Kasting: Jonathan Kevin
Rumah Produksi: Fourcolour Films
Durasi: 88 menit
Bahasa: Jawa, Indonesia
Siti (Sekar Sari), seorang ibu muda berusia 24 tahun yang mengalami permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya. Masalah ini terjadi ketika suaminya, Bagus (Ibnu Widodo) mengalami kecelakaan saat melaut. Kapalnya yang baru ia beli dengan uang pinjaman hilang sedangkan rentenir selalu mengejarnya untuk segera membayar hutang. Tidak hanya itu, Bagus pun kehilangan kemampuan untuk beraktifitas karena ia tak lagi bisa berjalan. Keadaan ini memaksa Siti untuk berkerja siang dan malam. Ia berjualan keripik jinking di pantai saat siang hari dan menjadi pemandu karaoke pada malam hari. Suaminya pun berhenti berbicara karena kecewa dengan pekerjaan yang dipilih Siti. Ditengah kegelisahannya harus mengurus Bagus dan anaknya, Bagas (Bintang Timur), Siti didekati oleh seorang polisi bernama Gatot yang mengajaknya menikah.
Dari judulnya saja, sudah tampak jelas bahwa karakter Siti menjadi kunci dari film ini. Sepanjang film, kamera menyorot kegiatan Siti dan memperlihatkan kondisi dan suasana hatinnya yang bimbang dan gelisah. Sekar Sari mampu menampilkan akting yang baik sebagai perempuan desa dari kalangan ekonomi rendah yang sedang dilanda masalah besar dan penonton pun dapat meresapi suasana hati yang Siti rasakan. Ia mendapatkan penghargaan Best Performance dalam Singapore International Film Festival ke-25. Meskipun harus diakui, pemilihan pemeran karakter Siti tampak tidak pas pada faktor fisik. Siti tampak begitu kurus dan kurang menawan untuk dapat membuat polisi mapan nan rupawan seperti Gatot dapat jatuh cinta dan nekad menikahinya padahal sudah bersuami pula.
Film hitam putih ini bernuansa kelam. Alur yang lambat membuat film ini berjalan terasa sangat lama. Sosok sahabat Siti yang bernama Sri mampu memberi warna dan tawa karena candaan dan celetukannya yang lucu. Keluwesan akting pemeran Sri ini mampu menghidupkan karakter yang kuat sehingga dapat berpengaruh dalam menciptakan mood film. Mengambil lokasi di sekitar pantai Parangtritis Yogyakarta, pemandangan yang cantik mampu mendukung estetika film namun tidak banyak berpengaruh karena keterbatasan warna dan aspek rasio fullscreen yang membuat keindahan alam ini tidak tampak jelas.
Film produksi Fourcolour Films ini banyak menggunakan teknik handheld yang agak kasar sehingga cukup membuat penonton pusing melihatnya. Tetapi, alunan musik khas Jawa Tengah yang disajikan nikmat untuk didengar dan serasi untuk dinikmati bersamaan dengan suasana pantai disertai debur ombaknya. Sang sutradara tampaknya ingin memberikan bumbu-bumbu sensualitas dengan menyajikan adegan realistik yang terlihat sangat memaksa. Salah satunya adalah adegan mesra Siti dan Gatot di dalam toilet tempat karaoke dimana keduanya saling berciuman. Adegan ini tampak tidak enak untuk dilihat karena keduanya tampak canggung dan tidak ada chemistry.
Alih-alih membicarakan permasalahan keharmonisan rumah tangga yang seharusnya dapat dibicarakan baik-baik antara Siti dan Bagus, setidaknya untuk mendukung suasana hati Siti agar tetap tegar, penulis lebih tertarik pada percakapan filosofis Siti dan Bagas mengenai kepercayaan kepada laut. Kepercayaan ini seolah-olah justru membuat mereka terjebak pada kondisi yang membingungkan dan sulit untuk menemukan jalan keluar dengan baik.
Alur yang lambat dan membosankan, pemilihan pemeran yang tidak pas, teknik handheld yang kasar dan memusingkan, serta penyuguhan panorama alam yang tidak maksimal cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Siti mengandalkan isu sosial yang terjadi dalam masyarakat pesisir dengan status ekonomi kelas bawah. Layak untuk dinikmati namun tidak dengan ekspektasi tinggi.
Tekhnik pengambilan gambar long take, membuat saya sebagai penonton serasa makin tenggelam dalam alur cerita yang disuguhkan. Pengambilan gambar hitam putih seolah menjelaskan bahwa kehidupan siti itu hitam putih/bimbang dan resah tanpa warna keindahan yang ditawarkan dunia. Alih-alih menjadi film melodrama yang berlinang air mata dimana si pemain utama bersimpu meminta perubahan nasib, siti malah tampil penuh optimisme tapi tetap jujur pada realitas. Seperti film dokumenter? Ya memang, karena film ini sangat merepresentasikan kehidupan kalangan bawah secara eksplisit. Film paling jujur tapi tetap teatrical, itu kelebihan film ini, sejujur para cast yang tampil dengan meyakinkan terutama pemain utamanya, dapat merepresentasikan kehidupan neo-realis yang jarang ditampilkan dalam film-film komersil yang hanya menawarkan hiburan, wejangan-wejangan di setiap dialognya, dan kemegahan visual. Sebuah pencapaian tertinggi bagi perfilman indonesia saat ini. Sangat istimewa…
Sorry, just my opinion…