Snow White adalah remake live action dari film animasi fantasi Snow White and the Seven Dwarfs yang diproduksi studio Walt Disney tahun 1937. Film versi aslinya mencetak sejarah sebagai animasi feature pertama yang rilis di bioskop. Film remake-nya ini diarahkan oleh Marc Webb yang kita kenal melalui seri The Amazing Spider-Man (Adam Garfield) dan 500 Days of Summer. Film ini dibintangi Rachel Zegler, Gal Gadot, serta Andrew Burnap, dengan bujet raksasa lebih dari USD 240 juta. Bermodal bujet, sineas, serta para pemain bintangnya, akankah film ini mampu meraih sukses di tengah banyak kontroversinya?

Snow White (Zegler) adalah putri dari raja dan ratu di negeri antah berantah. Setelah sang ratu wafat karena sakit, sang raja dan putrinya berduka mendalam. Tidak hingga, seorang perempuan cantik (Gadot) datang dan menjadi ratu setelah sang raja menikahinya. Sang raja pun tak lama menyusul istrinya, akibat plot licik sang ratu. Sang ratu terobsesi dengan kecantikannya dan secara berkala bertanya kepada cermin ajaib, “siapa perempuan paling cantik di negeri ini?”, yang selalu dijawab sesuai keinginannya. Ketika jawaban beralih ke sosok Snow White, saat itu pula ia mengutus pemburu untuk membunuhnya, namun ia justru melepas sang putri. Sang putri pun terjebak di dalam hutan dan di sana ia bertemu dengan tujuh kurcaci yang unik.

Entah apakah kontroversi yang demikian hebat seputar produksinya, bakal memengaruhi performa box-office? Beragam kontroversi menyertainya, di antaranya, pilihan kasting utama yang memilih aktris turunan latin (bukan kulit putih). Lantas, Gal Gadot yang berasal dari Israel, tentu memicu masalah krusial di tengah konflik yang memanas kini. Zegler pun dikenal vokal mendukung Palestina. Belum lagi, sosok kurcaci yang kini menggunakan efek visual, tidak menggunakan aktor kerdil, yang dipermasalahkan beberapa pihak. Lalu kritik Zegler terhadap cerita film animasi aslinya tentang kehadiran sang pangeran yang menuai respon negatif. Lantas apakah ini semua memengaruhi kualitas filmnya? Saya bisa jawab, sama sekali tidak. Snow White adalah film yang sangat menghibur dan bisa ditonton semua kalangan.

Baca Juga  Star Syndrome

Pertama adalah perihal plotnya. Ketimbang versi animasinya, film ini memiliki pengembangan cerita yang berbeda, lebih memfokuskan pada karakter Snow White. Sosok 7 kurcaci tidak memiliki peran krusial seperti pada versi aslinya yang terlibat dalam resolusi masalah. Sosok “pangeran” (yang dipermasalahkan Zegler) kini perannya lebih kompleks dan memiliki latar cerita yang solid dari sebelumnya, yang hanya muncul sebagai “pemanis”. Chemistry antara sang putri dan “pangeran” kini tampak lebih kuat, walau ia bukan berasal dari kaum aristokrat. Babak ketiga adalah pembeda tegas antara versi ini dan aslinya, di mana sosok sang putri lebih memegang peranan kuat, walau dari konteks plot secara keseluruhan terasa antiklimaks.

Satu kekuatan besar versi remake-nya  ini adalah nomor-nomor segmen musikalnya yang atraktif dan nyaman di telinga. Beberapa nomornya juga masih memberi tribute pada versi aslinya, sebut saja “Hei Ho” yang ikonik, lalu “Whistle While You Work”. Zegler sudah kita kenal betul kualitas vokalnya setelah tampil mengesankan dalam West Side Story dan The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes. Zegler tidak melewatkan kesempatan dengan tampil melalui kualitas vokal prima. Namun yang menjadi kejutan adalah Gal Gadot, walau ini bukan keahliannya, namun vokalnya jauh dari buruk dengan melantunkan satu nomor bertitel “All is Fair”.

Snow White adalah sebuah remake yang melampaui pencapaian versi animasinya, melalui pengembangan cerita serta nomor-nomor manis segmen musikalnya, sekalipun babak ketiga terasa antiklimaks. Entah bagaimana respon dari publik dengan segala kontroversinya, bagi saya ini adalah sebuah pencapaian bagus untuk genrenya. Setidaknya, dari nomor-nomor musikalnya saya lebih menikmati ini ketimbang Wicked, kecuali untuk nomor pungkasnya. Snow White adalah satu tontonan menghibur bagi keluarga dan lagi-lagi memiliki pesan kuat tentang perempuan yang kini masih menjadi tren.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaThe Electric State | REVIEW
Artikel BerikutnyaNe Zha 2 | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses